PENDAHULUAN
Keadaan-keadaan diatas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak manajer dan penyelia, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akhir faktor-faktor samar yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial, ataupun yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak sanggup diatasi. Keadaan tegang ini sesuai dengan konsep stres yang dikemukakan oleh Pearlin, Liebermen, Managhan, dan Mullan (Breznitz, & Golberger, 1982, hal 369) yang menyatakan :
Stress refer to a response of the organism to a noxious or theartening condition.
Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga mencipta-kan suatu perubahan yang penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri. Bagi insan yang hidup dijaman yang masih primitif, ketegangan itu suatu keadaan yang masih simpel ditentukan alasannya yakni musababnya dan sanggup dengan terang dikenali, walaupun mengancam pribadi kehidupan tetapi sekurang-kurangnya gamblang untuk dihadapi. Manusia jaman doloe sanggup menanggapi ketegangan dengan tindakan yang konkrit berupa sikap fisik yang relevan dengan ancaman fisik yang dihadapinya, sehingga dampak lanjutan dari ketegangan tersebut sanggup dihindari. Manusia jaman kini masih terbuka terhadap stres atau ketegangan menyerupai yang sudah dikemukakan diatas. Tetapi seringkali insan modern kurang intensif dalam menghadapi ketegangan atau stres yang dihayatinya lantaran ketegangan tersebut susah dihadapi secara pribadi menurut sifatnya yang samar dan susah ditentukan sebab-sebabnya secara gamblang. Sumber-sumber ketegangan (stres) bagi insan modern tidak banyak lagi yang berupa ancaman fisik, melainkan lebih bersifat psikologis menyerupai perselisihan, persaingan, rasa malu, jenuh, rasa bersalah, perasaan dipelakukan tidak adil, ataupun cemas terkena kenaikan pangkat atatu penghasilan. Akibatnya, orang tersebut tetap tegang dan senantiasa siap tempur tetapi tidak pernah menghadapi musuh yang sesung-guhnya.
Stres dan keadaan tegang yang berkepantidakboleh, tanpa adanya penyelesaian yang adekuat, akan mengganggu kesehatan fisik dan/atau mental pekerja yang muncul dalam bentuk keluhan-keluhan psikosomatik. Selanjutnya, gangguan kesehatan tersebut akan menjadi suatu stres baru, dan membentuk suatu bundar setan. Pada gilirannya, kesehatan yang terganggu tersebut juga akan menggangu tampilan kerja individu. Perhatian pekerja menjadi kurang sanggup dipusatkan, motivasi kerja menurun, dan tingkat keterampilannya menurun. Selain itu, biaya pemeliharaan kesehatanpun menjadi meningkat. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi secara umum.
Faktor lain yang juga mensugesti tampilan kerja individu yakni kepuasaan kerjanya. Menurut penelitian Hawthorne (Milton, 1981, hal. 161) kepuasaan akan kerja akan mengarahkan pekerja kearah tampilan kerja yang lebih produktif. Pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan mempunyai loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, secara sekilas tampak terdapat korelasi antara stres dan kepuasan kerja, terutama dalam hal tampilan kerja individu. Makalah ini berusaha mengulas peranan kepuasan kerja dalam menurunkan akhir jelek dari stres yang dihayati pekerja dalam lingkungan pekerjaannya.
Berbagai defenisi terkena stres sudah dikemukakan oleh para andal dengan versinya masing-masing, walaupun intinya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai ‘the nonspesific response of the body to any demand‘, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan ‘stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources’ (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa stres lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut sanggup dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang sanggup menjadikan stres, tetapi tiruana itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu.
Hans Selye (1950) menyebarkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menerangkan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka prosedur pertahanan diri (defence mechanism) pada badan diaktifkan. Kelenjar-kelenjar badan memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, prosedur pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ badan tidak sanggup beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi badan kurang sanggup berfungsi dengan baik, maka hal itu ialah pertama munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stres sebagai diberikut :
1. Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang memba-hayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
2. Stage of Appraisals
Individu mulai melaksanakan penilaian terhadap stimulus yang terkenanya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
Tahapan penilaian ini dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Primary Cognitive Appraisal
Adalah proses mental yang berfungsi mengevaluasi suatu situasi atau stimulus dari sudut implikasinya terhadap individu, yaitu apakah menguntungkan, merugikan, atau membahayakan individu tersebut.
b. Secondary Cognitive Appraisal
Adalah penilaian terhadap sumber daya yang dimiliki individu dan banyak sekali alternatif cara untuk mengatasi situasi tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman individu pada situasi serupa, persepsi individu terhadap kemampuan dirinya dan lingkungannya serta banyak sekali sumberdaya pribadi dan lingkungan.
3. Stage of Searching for a Coping Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara banyak sekali tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun kalau individu mempunyai antisipasi wacana cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan taktik ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan dipakai ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stres tersebut berlangsung.
4. Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, menyerupai sedih, cemas, marah, dan gelagapan. Mekanisme pertahanan diri yang dipakai menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi menyerupai ini timbul akhir adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stres yang berkepantidakboleh.
Dampak dari keadaan ini yakni bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stres kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah-istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat mempunyai konotasi negatif. Keduanya dibedakan menurut perspektif waktunya. Harm-loss dipakai untuk menerangkan stres yang timbul akhir antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stres akhir harm-loss maupun threat pada umumnya akan sanggup berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stres yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laris individu, contohnya tampilan kerjanya, justru positif.
2.4 STRES DI LINGKUNGAN KERJA
Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. melaluiataubersamaini demikian, dalam lingkungan kerja ini individu mempunyai kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres. Stres kerja sanggup dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini sanggup ialah akhir dari lingkungan fisik, sistem dan metode dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, isi atau struktur pekerjaan, tingkah laris individu sebagai anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya.
Secara umum terdapat tiga buah pendekatan untuk mengulas duduk masalah stres dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari ber-bagai situasi kerja yang sanggup menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Dan pendekatan ketiga meninjaunya melalui pola interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu.
1.Karakteristik Obyektif Situasi Kerja
Pendekatan ini bertolak dari konsep stres sebagai suatu kondisi/situasi yang bisa menimbulkan pergolakan, kekacauan, atau perubahan yang bersifat reaktif dalam diri individu. melaluiataubersamaini perkataan lain, pendekatan ini mengacu kepada konsep stres sebagai stimulus. Ada atau tidaknya stres dan bobot stres sanggup diduga dari karakteristik stimulus yang dihadapi individu. Stimulus yang bisa menimbulkan stres ini biasa disebut stresor.
Secara umum, konsep stres sebagai suatu stimulus diguna-kan untuk menerangkan situasi-situasi yang mempunyai karak-teristik baru, intense (kuat), berubah-ubah dengan cepat, dan terjadi tanpa diduga sebelumnya. Situasi lain yang sanggup menjadi stresor mempunyai karakteristik sebagai diberikut :
3 stimulus deficit (kurangnya stimulasi lingkungan)
4 absence of expected stimuli (ketidakhadiran stimulus yang diharapkan)
5 highly persistent stimulations (stimulasi monoton)
6 kelelahan
7 kejenuhan
Dalam lingkungan kerja, konsep stres sebagai suatu stimulus sering dipakai untuk mengulas situasi-situasi kerja yang sanggup menimbulkan stres pada para pekerja.
Situasi-situasi tersebut yakni sebagai diberikut :
a. Karakteristik Fisik Lingkungan Kerja
8 situasi kerja yang berpolusi
9 noise (kebisingan)
10 terlalu gerah atau terlalu dingin
11 rancangan sistem manusia-mesin yang buruk
12 situasi kerja yang mengancam keselamatan fisik
b. Karakteristik Waktu Kerja
13 pekerjaan-pekerjaan yang waktunya tidak menentu
14 terlalu sering lembur
15 deadlines (batas waktu)
16 time pressures
c. Karakteristik Lingkungan Sosial dan Organisasi
17 iklim politis yang kurang sehat
18 kualitas supervisi yang buruk
19 kekerabatan atasan-bawahan yang buruk
20 tugas-tugas monoton
21 machine pacing (kecepatan mesin)
22 beban kerja yang berlebihan
23 tanggung tanggapan yang terlalu besar
24 kurang penghargaan terhadap hasil kerja
d. Karakteristik Perubahan Dalam Pekerjaan
25 pemutusan korelasi kerja
26 pensiun
27 demosi
28 adanya perubahan kualitatif dalam jabatan
29 promosi yang terlalu dini
30 perubahan pada pola shift
31 situasi dimana tidak ada perubahan sama sekali
Untuk menerangkan bagaimana karakteristik-karakteristik di atas menimbulkan stres pada pekerja, diberikut ini dikemu-kakan sebuah ilustrasi. melaluiataubersamaini adanya perkembangan teknologi, proses industri kini ini banyak memakai mesin-mesin dengan teknologi yang canggih. Mesin-mesin tersebut mempunyai cara kerja yang otomatis dengan kecepatan kerjanya sendiri. Adanya keadaan ini menimbulkan perasaan tidak mengenakkan pada diri pekerja. Pertama, otomatisasi membuat pekerja spesialuntuk mempunyai peranan yang relatif kecil dalam proses produksi lantaran sebagian besar pekerjaan sudah diambil alih oleh mesin, dan ini membuat pekerja merasa kurang dihargai. Kedua, pekerja harus mengikuti keadaan dengan kecepatan kerja mesin yang seringkali menciptakannya harus memusatkan perhatian secara terus-menerus, yang sanggup menimbulkan keletihan baik fisik maupun mental kepada pekerja tersebut. Ketiga, keadaan inipun membuat korelasi sosial pekerja dengan pekerja lainnya menjadi berkurang lantaran pekerja harus memusatkan perhati-annya kepada mesin. Ketiruananya ialah sumber stres bagi pekerja tersebut.
misal konkret adanya stres akhir kecepatan kerja mesin terdapat pada pekerja lini rakit (assembly line) yang menggu-nakan peralatan mekanis modern. Penelitian Hinkle pada Bell Telephone Company mendukung pernyataan di atas (Fraser, hal. 94).
Dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik di atas, Kagan dan Levi (1971) menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan genetis untuk mengikuti keadaan dengan lingkungannya, dan mempunyai sikap tertentu untuk mengata-si lingkungannya tersebut (Fraser, hal.83). Jika stimulus yang dihadapi individu tidak melebihi batas-batas ambang penyesuainnya maka individu tersebut tidak akan tergangggu baik fisik maupun mentalnya. Kondisi fisik/mental individu terganggu kalau stimulus yang dihadapinya menuntut penyesuaian diri yang melebihi batas ambangnya sehingga ia tidak bisa lagi mengatasi lingkungannya. Jika hal ini berlangsung terus menerus akan muncul simptom-simptom stres menyerupai gangguan percernaan migraine, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
2.Karakteristik Pekerja
Pendekatan ini bertolak dari pendapat bahwa individu mempunyai ambang stres yang tidak sama. melaluiataubersamaini demikian, karakteristik individu akan mensugesti kadar stres yang dihayatinya. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor-faktor diberikut ini sanggup mensugesti ambang stres seseorang (Braznitz & Golberger, hal.434) :
32 Usia
33 jenis kelabuin
34 kebangsaan dan suku bangsa
35 taraf hidup
36 banyaknya perubahan yang dialami semasa hidup
37 kecenderungan work addict
38 kecenderungan neurotik dan depresi
39 fleksibilitas kepribadian
40 prosedur pertahanan diri yang dipergunakan
41 self esteem
42 makna pekerjaan bagi individu
Salah satu teori yang berlandaskan pada teori ini yakni yang diajukan oleh Rosenman dan Friedman (1974) yang menggo-longkan individu kedalam dua pola sikap yaitu individu tipe A dan individu tipe B, yang dikaitkan dengan kerentanan individu terhadap penyakit jantung (Breznizt & Golberger, hal.547).
Individu dengan pola sikap tipe A lebih simpel terjangkit penyakit jantung (CHD) terlepas dari faktor-faktor fisik dan jenis pekerjaan mereka. Dua karakteristik utama individu dengan pola sikap tipe A yakni adanya suatu dorongan yasng besar untuk bersaing dan perasaan menetap wacana pentingnya waktu. Individu dengan pola sikap tipe A sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu, berlomba dengan waktu, beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan kelain pekerjaan, dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu dengan pola sikap tipe A selalu berada dalam keadaan tegang dan stres. Walaupun pekerjaan relatif bebas dari sumbner-sumber stres, mereka membawa stres mereka sendiri dalam bentuk pola perilakunya. Stres selalu timbul pada dikala bekerja maupun pada waktu senggang mereka.
Individu dengan pola sikap tipe B mungkin sama ambisiusnya dengan individu tipe A, tetapi mereka lebih santai dan mendapatkan situasi seadanya. Individu tipe B beker-ja dengan nyaman tanpa perjuangan untuk memerangi situasi ynag mereka hadapi secara kompetitif. Dalam menghadapi tekanan waktu, sikap mereka lebih santai sehingga jarak mengalami masalah-masalah yang bekerjasama dengan stres dan tegang. melaluiataubersamaini demikian individu tipe B sanggup bekerja sebaik yang dilakukan oleh tipe A tetapi lebih sedikit mengalami akibat-akibat yang menyakitkan dari stres.
Sebenarnya, pertolongan pola sikap ini tidak menun-jukkan ciri kepribadian yang statis, akan tetapi lebih meng-gambarkan gaya sikap yang disertai dengan beberapa reaksi kebiasaan seseorang dalam menghadapi situasi disekitarnya. House (1973) menambahkan bahwa ciri psikis utama individu tipe A yakni keinginan untuk mencapai prestasi sosial (social achievement) yang sanggup dianalogikan dengan mencari status (status seeking). Glass (1977) menerka bahwa faktor utama yang menimbulkan timbulnya pola sikap tipe A yakni keinginan atau obsesi untuk mengendalikan lingkungan. melaluiataubersamaini demikian, permasalahan yang dihadapi oleh individu tipe A pada tidak bisa tidak melaksanakan sesuatu sama sekali (inactivity). Individu tipe A akan menghayati stres yang relatif lebih besar kalau mereka dibiarkan tanpa didiberikan pekerjaan atau aktivitas.
3. Pendekatan Interaksi
Teori-teori yang didasari oleh pendekatan ini berpenda-pat bahwa stres tidak semata-mata disebabkan oleh situasi lingkungan kerja atau semata-mata oleh karakteristik pekerja yang bersangkutan melainkan oleh interaksi antara kedua faktor tersebut. Berdasarkan pendekatan interaksi ini, Cox dan Mackay (1979) menyampaikan bahwa stres ialah hasil penafsiran seseorang terkena keterlibatannya dalam lingkung-annya, baik secara fisik maupun secara psikososial. Stres atatu ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseim-bangan antara persepsi orang tersebut terkena tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya terkena kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, hal. 80). Ini berar-ti bahwa tidak ada stresor yang diberifat universal. Stimulus yang sama sanggup menimbulkan intensitas stres yang tidak sama atau bahkan tidak menimbulkan stres sama sekali pada individu yang mempersepsi dirinya bisa menghadapi stres tersebut. melaluiataubersamaini demikian, yang menjadi pokok bahasan yakni persepsi individu terhadap situasi dan partisipasi aktif individu dalam interaksi yang berlangsung. melaluiataubersamaini perkataan lain, cara individu menghadapi stres lebih penting daripada frekwensi dan kadar stres itu sediri.
Salah satu model teori interaksi yang cukup terkenal berasal dari French (1982), yang disebutnya “the Person Enviromental fit Model”. Menurut French, stress terdapat pada kotak G dalam model P-E nya, yaitu sebagai “Subjective Person-Environment Fir”. Dalam hal ini, konsep stress dari Mc.Grath, yang menekankan duduk masalah persepsi.
Seperti yang digambarkan dalam model P-E stress tidak timbul akhir stressor lingkungan semata melainkan ialah hasil persepsi individu terhadap kemampuan dan motivasinya untuk menghadapi stressor tersebut. Faktor persepsi dalam model tersebut ialah faktor yang paling menentukan bobot stres dari suatu situasi.
Dalam model P-E tersebut, persepsi individu dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan (Objective Social Environment) dan karakteristik individu (Objective Person). melaluiataubersamaini demi-kian kalau salah satu dari kedua hal ini berubah, persepsi individu pun akan berubah, sehingga pada kesannya bobot stres yang dihayati akan berubah pula.
French juga mengemukakan bahwa stress yang dipersepsi sanggup dikurangi melalui dua mekanisme, yaitu “Social Support” dan “Ego Defence”. Artinya, kalau individu memperoleh pertolongan sosial yang memadai dari lingkungan dan/atau memakai ego defence yang tepat, stress sanggup menurun intensitasnya.
melaluiataubersamaini demikian, menurut model P-E dari French di atas, usaha-usaha yang diarahkan untuk menurunkan intensitas stres sanggup dilakukan melalui perubahan persepsi dan pembeian pertolongan sosial. Cobb (1976) sudah mempersembahkan bukti yang mengesankan bahwa di dalam suatu krisis, yang nyata-nyta ialah suatu situasi penuh stres, pertolongan sosial sanggup melindungi insan dari guaka ragam kondisi patologis (Fraser, hal. 87). Menurut Lieberman dkk, secara teoritis kiprah pertolongan sosial yakni sebagai diberikut (Goldberger & Breznitz, hal. 778) :
1. Social resources sanggup mengurangi peluang terjadinya situasi yang bisa membangkitkan stres
2. Bila situasi tersebut terjadi juga, interaksi dengan ‘significant orthers’ sanggup memodifikasikan persepsi indi-vidu terhadap situasi tersebut. melaluiataubersamaini demikian, intensitas stres yang timbul sanggup dikurangi
3. Tingkat stres yang dialami oleh individu erat hubungannya dengan tingkat perubahan yang ditimbulkan oleh situasi tersebut, dalam hal ini yakni perubahan peran. Social resources sanggup mengubah persepsi individu wacana kekerabatan antara kiprahnya yang terancam dengan situasi yang menimbulkan stres.
4. Social resources sanggup mengubah persepsi individu wacana taktik ‘coping’ yang tepat, contohnya dengan cara mempe-ngaruhi individu untuk memakai taktik tertentu.
5. Social resources sanggup memodifikasikan dampak stresor yang mengikis harga diri dan keyakinan individu.
6. Social resources kuat pribadi terhadap tingkat pembiasaan yang dimiliki individu
melaluiataubersamaini demikian, pertolongan sosial tidak saja sanggup meredam dampak stres melainkan juga sanggup mengurangi peluang terjadinya stres.
42.4 KEPUASAN KERJA
Kepuasan kerja akhir-akhir ini semakin terasa penting artinya dalam lingkup organisasi. Kepuasan kerja mempunyai efek yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara pribadi ataupun tidak langsung. Ketidakpuasan ialah titik pertama dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi, menyerupai kemangkiran, konflik manager-pekerja, ‘turn-over’, serta banyak duduk masalah lainnya yang menimbulkan terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan sanggup menimbulkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Secara umum sanggup dikemukan bahwa pemecahan masalah-masalah organisasi dari segi manusianya sanggup dilakukan melalui prinsip-prinsip kepuasan kerja. melaluiataubersamaini adanya kepuasan kerja yang tinggi akan muncul ikatan yang positif antara pekerja dengan pekerjaannya, sehingga dari pekerja ini sanggup dibutuhkan suatu hasil yang optimal. Dari hampir tiruana perusahaan yang mengalami kemajuan yang pesat ditandai dengan tanda-tanda kepuasan kerja yang tinggi di antara para pekerjanya.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip kepuasan kerja diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pekerja. Milton menyata-kan bahwa kepuasan kerja ialah kondisi emosional positif atau sangat senang yang dihasilkan dari penilaian pekerja menurut pengalamannya (Milton, hal.151). Lebih jauh lagi, Milton mangatakan reaksi efektif pekerja terhadap pekerja-annya tergantung kepada taraf pememnuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesentidakboleh antara yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkannya menjadi dasar bagi munculnya kepu-asan atatu ketidakpuasan. Beberapa andal sudah mencoba mengemukakan faktor-faktor yang terlibat dalam kepuasan kerja. Herzberg, menyerupai yang dikutif oleh Gilmer (1961), mengemukakan faktor-faktor kemapanan atau keamanan pekerjaan, peluang untuk maju, pandangan pekerja terkena perusahaan dan manajemennya, penghasilan, aspek-aspek intrinsik pekerjaan, kualitas penyeliaan, aspek-aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, serta kondisi kerja fisik dan jam kerja sebagai faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja. Perlu dicatat bahwa hasil penelitian diatas diperoleh dari laporan pekerja yang sebagian besar pekerja dalam kondisi yang cukup baik, dengan penghasilan yang mencukupi dan korelasi dengan atasan-bawahan yang baik.
Ruth Johnston (1975) menekankan bahwa kebutuhan akan uang dan kondisi fisik relatif tidak penting bila dua hal tersebut, paling tidak hingga pada taraf tertentu, sudah terpenuhi. Lebih lanjut lagi, penelitian yang dilakukan Johnston menawarkan urutan preferensi di antara pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang menarikdanunik yakni rekan sekerja yang ramah, manajemen yang efisien, penghasilan yang tinggi, dan penyelia yang penuh perhatian. Sedangkan bagi pekerja wanita, urutan prefensinya bergerak dari rekan sekerja yang ramah, penyelia yang penuh perhatian, manajemen yang efisien, dan penghasilan yang tinggi. Dalam penelitian diberikutnya (Johnston, 1973) menun-jukan bahwa pekerja menilai keramahan dan perhatian pada pekerjaan sebagi suatu sifat yang istimewa (Fraser, hal. 55).
Dari kenyataan-kenyataan di atas tampak bahwa faktor-faktor kekerabatan sosial yang baik dan penghargaan terhadap prestasi kerja ialah faktor-faktor yang sangat menetukan kepuasan kerja. Faktor penghasilan dan imbalan lainnya walaupun masih dianggap penting, tidak memperoleh pementingan yang khusus. melaluiataubersamaini demikian, untuk meningkatkan kepuasan kerja kedua hal itu harus terpenuhi terlebih lampau.
2.4 STRES DAN KEPUASAN KERJA
Pekerjaan mengatur lalu-lintas udara dianggap sebagi salah satu pekerjaan yang paling menimbulkan stres. Jam demi jam mereka harus selalu waspada, mengawasi sejumlah pesawat terbang yang hadir dan pergi dengan kecepatan dan ketinggian masing-masing. Walaupun demikian, dua buah penelitian (Singer & Ruterfranz, 1971; R.C Smith, 1973) menandakan bahwa aspek-aspek pekerjaan yang tidak disukai oleh pengawas lalu-lintas udara yakni administrasi, kualitas manajemen, upah/penghasilan, kerja malam (saat lalu-lintas udara tidak padat), dan yang disebut ‘stres’ (beban mental atau tanggung tanggapan yang besar) tidak termasuk kedalam aspek pekerjaan yang tidak disukai dan bahkan terkadang termasuk ke dalam aspek pekerjaan yang disukai (Cooper & Payne, hal. 9).
Dari penelitian yang dilakukan Caplan dan kawan-kawan terhadap 2000 pekerja dari 23 jabatan di Amerika Serikat, Fraser menarikdanunik kesimpulan bahwa lingkungan stres yang dirasakan secara subyektif lebih berperan sebagai penentu ketegangan daripada lingkungan itu sendiri, dan bahwa reaksi subyektif menyerupai kecemasan, kemarahan, tekanan mental, dan gangguan-gangguan psikosomatis berkaitan erat satu sama lainnya dan sepertinya lebih dipengaruhi oleh ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada oleh sifat-sifat pekerjaan itu sendiri (Fraser, hal.92). Lebih jauh lagi, Fraser juga menga-takan bahwa unsur-unsur yang sama, yang identik dengan pembangkit stres, juga diputuskan sebagai penyebab ketidak-puasan.
Salah satu kondisi kerja yang sanggup menimbulkan stres pada diri pekerja yakni kerja paruh waktu (shift work). Keluhan-keluhan yang muncul pada kondisi kerja ini antara lain gangguan susah pulas, gangguan pencernaan, dan gangguan-gangguan sosial Goldberger & Breznizt, hal.432). Tetapi keadaan sanggup diperbaiki oleh motivasi pekerja itu sendiri. Bila kerja lembur atatu kerja malam memang dikehendaki oleh pekerja itu sendiri, stres akan diperkecil dan demikian pula ketegangan yang diakibatkannya. Taylor (1974) melaporkan bahwa masalah-masalah pembuluh darah jantung (kardiovaskuler) lebih umum dialami oleh para pekerja siang hari daripada para pekerja malam hari (Fraser, hal. 96).
Dari penjelasan-penjelasan diatas tampak bahwa kepuasan kerja sanggup mensugesti kadar stres dan sanggup mengurangi dampak menyakitkan dari stres tersebut. Robert R. Holt menyatakan bahwa :
Job satisfaction is eudently highly relevant to occupational stress and its pathogenics effects.
(Goldberger & Breznizt, hal.436).
Kepuasan kerja ialah kondisi emosional yang positif atau sangat senang terhadap pekerjaan, yang berarti bahwa makna pekerjaan bagi pekerja yang puas menjadi positif. melaluiataubersamaini adanya makna pekerjaan yang positif ini pekerja menjadi lebih siap menghadapi tuntutan-tuntutan pekerjaannya tersebut. melaluiataubersamaini demikian, walaupun individu dihadapkan pada pekerjaan yang mempunyai kemungkinan mempersembahkan stres yang besar, kadar stres dan dampak stres yang dihayatinya tidaklah terlalu besar. Makna pekerjaan bagi individu ialah sumber stres yang potensial.
Model P-E menekankan kepada kesesuaian antara karak-teristik individu dan karakteristik lingkungan. Berdasarkan pendekatan ini, perjuangan untuk mengurangi kadar stres dan dampak stres di lingkungan pekerjaan tidak sanggup dilakukan spesialuntuk dengan memperhatikan faktor pekerjaan semata, melaikan juga turut memperhatikan faktor pekerjanya. Pekerjaan-pekerjaan tertentu sanggup kembali dirancang biar tercapai kesesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan pekerja. Misalnya dengan melaksanakan pemerkayaan pekerjaan pada pekerjaan lini rakit. Pada perkerjaan-pekerjaan tertentu, contohnya penjinak bom atau instruktur singa untuk sirkus, perubahan pada pekerjaan tersebut tidak sanggup dilakukan. Dalam hal ini, perjuangan mengu-rangi stres dan dampak stres lebih ditujukan pada pemilihan pekerja yang sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan Teknik lain yang sanggup dipergunakan untuk mengurangi stres dan dampaknya yakni dengan mengubah persepsi pekerja terkena pekerjaan dan kemampuannya. Menurut pendekatan interaksional, persepsi memegang peranan yang besar dalam menentukan kadar stres dan dampak stres tersebut. Di lingkungan pekerjaan perubahan persepsi pekerja sanggup dilaku-kan oleh atasan pekerjaan tersebut yang mempersembahkan keyakinan diri dan perasaan kondusif kepada pekerjanya.
Faktor lain yang mensugesti daya tahan terhadap stres dalam pekerjaan yakni pertolongan sosial (social supports), yaitu jalinan ikatan sosial dan keluarga dari pekerja. Dukungan sosial dan keluarga ini sanggup menurunkan akibat-akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan, dengan memdiberi kepuasan-kepuasan dan pencapaian-pencapaian yang lain diluar pekerjaan. Dukungan sosial dan keluarga sanggup menyalurkan perasaan-perasaan negatif pekerja terhadap pekerjaannya dan menimbulkan harga diri, penerimaan, serta kepercayaan terha-dap diri sendiri. Dari penelitian-penelitian yang sudah dikemukakan sebelumnya, tampak bahwa kebutuhan pekerja yang utama yakni korelasi sosial yang baik antara pekerja dan penyelia. melaluiataubersamaini demikian, tampak terang bahwa pertolongan sosial mempunyai arti yang penting bagi pemuasan kebutuhan pekerja dan penurunan kadar stres maupun dampaknya.
Adanya korelasi yang baik dengan penyelia atau atasan memungkinkan pekerja untuk mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapinya, yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini tentu mempunyai dampak yang baik bagi penurunan ketegangan pekerja tersebut lantaran melalui cara demikian pekerja sedikit banyak sanggup menyalurkan ketegangannya (kartasis). Selain itu, dengan adanya korelasi yang baik ini, pekerja memperoleh keyakinan bahwa pihak manajemen mempersembahkan penghargaan terhadap dirinya sebagai manusia, pihak manajemen sanggup memahaminya, dan bukan ialah ancaman bagi dirinya. Di lain pihak, komunikasi dari pekerja ialah suatu informasi yang berharga bagi pihak manajemen yang sanggup dipergunakan untuk memperbaiki kondisi kerja di perusahaan tersebut.
Fraser, T.M., Stress & Kepuasan Kerja, PT. Pustaka Binaman Pressindo, LPPM, Jakarta, 1985
Goldberger, Leo & Shlomo Breznizt, Handbook of Stress, The Free Press, New York, 1982
Landy, Frank J., Psychology of Work Behavior, 3rd edition, The Dorsey Press, USA, 1985
Milton, Charles R., Human Behavior in Organization, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1981
Wexley, Kenneth N. & Gary A. Yukl, Organizational Behavior and Personnel Psychology, Richard D. Irwin Inc., 1977
Bagi masyarakat pada kala industrialisasi kini ini, pekerjaan ialah suatu aspek kehidupan yang sangat penting. Bagi masyarakat modern bekerja ialah suatu tuntutan yang mendasar, baik dalam rangka memperoleh imbalan berupa uang atau jasa, ataupun dalam rangka menyebarkan dirinya. Pada kenyataannya, sebagian besar pekerjaan cenderung mempunyai konotasi paksaan, baik yang ditimbulkan dari dalam diri sendiri ataupun yang ditimbulkan dari luar. Pekerjaan juga seringkali mencakup penerapan waktu dan perjuangan di luar keinginan individu pekerja. Banyak pekerja yang melaksanakan pekerjaan rutin, yang tidak atau spesialuntuk sedikit menuntut inisiatif dan tanggungjawaban, dengan sedikit impian untuk maju atau berpindah kejenis pekerjaan lain. Banyak juga pekerja yang melaksanakan kiprah yang berada jauh dibawah kemampuan intelektual mereka atau yang mereka anggap berada dibawah tingkat pendidikan yang sudah mereka peroleh. Di banyak sektor industri, pekerjaan sudah sangat ‘dirasionalisasikan’, dipecah-pecah kedalam tugas-tugas yang sederhana, menoton, dan menjemukan, yang spesialuntuk sesuai bagi robot yang tidak sanggup berpikir.
Pada level organisasi yang lebih tinggi, tingkat manajer atau supervisor, perkembangan teknologi dan industrialisasi yang pesat menuntut adanya kemampuan managerial dan intelektual yang lebih baik, yang terkadang melampaui kemampuan yang dimiliki sebahagian besar individu. melaluiataubersamaini adanya teknologi yang lebih baik maka arus komunikasi dan proses produksi akan berjalan lebih cepat sehingga seorang manager sanggup menjadi demikian sibuknya dan dibebani pekerjaan yang memerlukan penyelesaian dengan segera. Pada penyelesaian (supervisor) terjadi benturan antara dua tuntutan yang tidak sama, disatu pihak ia harus memperhatikan penyelesaian kiprah yang berbatas waktu dan dilain pihak ia harus juga memperhatikan training korelasi baik dengan bawahan-bawahannya.Keadaan-keadaan diatas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak manajer dan penyelia, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akhir faktor-faktor samar yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial, ataupun yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak sanggup diatasi. Keadaan tegang ini sesuai dengan konsep stres yang dikemukakan oleh Pearlin, Liebermen, Managhan, dan Mullan (Breznitz, & Golberger, 1982, hal 369) yang menyatakan :
Stress refer to a response of the organism to a noxious or theartening condition.
Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga mencipta-kan suatu perubahan yang penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri. Bagi insan yang hidup dijaman yang masih primitif, ketegangan itu suatu keadaan yang masih simpel ditentukan alasannya yakni musababnya dan sanggup dengan terang dikenali, walaupun mengancam pribadi kehidupan tetapi sekurang-kurangnya gamblang untuk dihadapi. Manusia jaman doloe sanggup menanggapi ketegangan dengan tindakan yang konkrit berupa sikap fisik yang relevan dengan ancaman fisik yang dihadapinya, sehingga dampak lanjutan dari ketegangan tersebut sanggup dihindari. Manusia jaman kini masih terbuka terhadap stres atau ketegangan menyerupai yang sudah dikemukakan diatas. Tetapi seringkali insan modern kurang intensif dalam menghadapi ketegangan atau stres yang dihayatinya lantaran ketegangan tersebut susah dihadapi secara pribadi menurut sifatnya yang samar dan susah ditentukan sebab-sebabnya secara gamblang. Sumber-sumber ketegangan (stres) bagi insan modern tidak banyak lagi yang berupa ancaman fisik, melainkan lebih bersifat psikologis menyerupai perselisihan, persaingan, rasa malu, jenuh, rasa bersalah, perasaan dipelakukan tidak adil, ataupun cemas terkena kenaikan pangkat atatu penghasilan. Akibatnya, orang tersebut tetap tegang dan senantiasa siap tempur tetapi tidak pernah menghadapi musuh yang sesung-guhnya.
Stres dan keadaan tegang yang berkepantidakboleh, tanpa adanya penyelesaian yang adekuat, akan mengganggu kesehatan fisik dan/atau mental pekerja yang muncul dalam bentuk keluhan-keluhan psikosomatik. Selanjutnya, gangguan kesehatan tersebut akan menjadi suatu stres baru, dan membentuk suatu bundar setan. Pada gilirannya, kesehatan yang terganggu tersebut juga akan menggangu tampilan kerja individu. Perhatian pekerja menjadi kurang sanggup dipusatkan, motivasi kerja menurun, dan tingkat keterampilannya menurun. Selain itu, biaya pemeliharaan kesehatanpun menjadi meningkat. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi secara umum.
Faktor lain yang juga mensugesti tampilan kerja individu yakni kepuasaan kerjanya. Menurut penelitian Hawthorne (Milton, 1981, hal. 161) kepuasaan akan kerja akan mengarahkan pekerja kearah tampilan kerja yang lebih produktif. Pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan mempunyai loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, secara sekilas tampak terdapat korelasi antara stres dan kepuasan kerja, terutama dalam hal tampilan kerja individu. Makalah ini berusaha mengulas peranan kepuasan kerja dalam menurunkan akhir jelek dari stres yang dihayati pekerja dalam lingkungan pekerjaannya.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.4 PENGERTIAN STRESTINJAUAN TEORITIS
Berbagai defenisi terkena stres sudah dikemukakan oleh para andal dengan versinya masing-masing, walaupun intinya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai ‘the nonspesific response of the body to any demand‘, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan ‘stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources’ (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa stres lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut sanggup dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang sanggup menjadikan stres, tetapi tiruana itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu.
Hans Selye (1950) menyebarkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menerangkan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka prosedur pertahanan diri (defence mechanism) pada badan diaktifkan. Kelenjar-kelenjar badan memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, prosedur pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ badan tidak sanggup beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi badan kurang sanggup berfungsi dengan baik, maka hal itu ialah pertama munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stres sebagai diberikut :
1. Stage of Alarm
Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang memba-hayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
2. Stage of Appraisals
Individu mulai melaksanakan penilaian terhadap stimulus yang terkenanya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
Tahapan penilaian ini dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Primary Cognitive Appraisal
Adalah proses mental yang berfungsi mengevaluasi suatu situasi atau stimulus dari sudut implikasinya terhadap individu, yaitu apakah menguntungkan, merugikan, atau membahayakan individu tersebut.
b. Secondary Cognitive Appraisal
Adalah penilaian terhadap sumber daya yang dimiliki individu dan banyak sekali alternatif cara untuk mengatasi situasi tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman individu pada situasi serupa, persepsi individu terhadap kemampuan dirinya dan lingkungannya serta banyak sekali sumberdaya pribadi dan lingkungan.
3. Stage of Searching for a Coping Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara banyak sekali tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun kalau individu mempunyai antisipasi wacana cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan taktik ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan dipakai ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stres tersebut berlangsung.
4. Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, menyerupai sedih, cemas, marah, dan gelagapan. Mekanisme pertahanan diri yang dipakai menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi menyerupai ini timbul akhir adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stres yang berkepantidakboleh.
Dampak dari keadaan ini yakni bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stres kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah-istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat mempunyai konotasi negatif. Keduanya dibedakan menurut perspektif waktunya. Harm-loss dipakai untuk menerangkan stres yang timbul akhir antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stres akhir harm-loss maupun threat pada umumnya akan sanggup berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stres yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laris individu, contohnya tampilan kerjanya, justru positif.
2.4 STRES DI LINGKUNGAN KERJA
Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. melaluiataubersamaini demikian, dalam lingkungan kerja ini individu mempunyai kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres. Stres kerja sanggup dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini sanggup ialah akhir dari lingkungan fisik, sistem dan metode dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, isi atau struktur pekerjaan, tingkah laris individu sebagai anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya.
Secara umum terdapat tiga buah pendekatan untuk mengulas duduk masalah stres dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari ber-bagai situasi kerja yang sanggup menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Dan pendekatan ketiga meninjaunya melalui pola interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu.
1.Karakteristik Obyektif Situasi Kerja
Pendekatan ini bertolak dari konsep stres sebagai suatu kondisi/situasi yang bisa menimbulkan pergolakan, kekacauan, atau perubahan yang bersifat reaktif dalam diri individu. melaluiataubersamaini perkataan lain, pendekatan ini mengacu kepada konsep stres sebagai stimulus. Ada atau tidaknya stres dan bobot stres sanggup diduga dari karakteristik stimulus yang dihadapi individu. Stimulus yang bisa menimbulkan stres ini biasa disebut stresor.
Secara umum, konsep stres sebagai suatu stimulus diguna-kan untuk menerangkan situasi-situasi yang mempunyai karak-teristik baru, intense (kuat), berubah-ubah dengan cepat, dan terjadi tanpa diduga sebelumnya. Situasi lain yang sanggup menjadi stresor mempunyai karakteristik sebagai diberikut :
3 stimulus deficit (kurangnya stimulasi lingkungan)
4 absence of expected stimuli (ketidakhadiran stimulus yang diharapkan)
5 highly persistent stimulations (stimulasi monoton)
6 kelelahan
7 kejenuhan
Dalam lingkungan kerja, konsep stres sebagai suatu stimulus sering dipakai untuk mengulas situasi-situasi kerja yang sanggup menimbulkan stres pada para pekerja.
Situasi-situasi tersebut yakni sebagai diberikut :
a. Karakteristik Fisik Lingkungan Kerja
8 situasi kerja yang berpolusi
9 noise (kebisingan)
10 terlalu gerah atau terlalu dingin
11 rancangan sistem manusia-mesin yang buruk
12 situasi kerja yang mengancam keselamatan fisik
b. Karakteristik Waktu Kerja
13 pekerjaan-pekerjaan yang waktunya tidak menentu
14 terlalu sering lembur
15 deadlines (batas waktu)
16 time pressures
c. Karakteristik Lingkungan Sosial dan Organisasi
17 iklim politis yang kurang sehat
18 kualitas supervisi yang buruk
19 kekerabatan atasan-bawahan yang buruk
20 tugas-tugas monoton
21 machine pacing (kecepatan mesin)
22 beban kerja yang berlebihan
23 tanggung tanggapan yang terlalu besar
24 kurang penghargaan terhadap hasil kerja
d. Karakteristik Perubahan Dalam Pekerjaan
25 pemutusan korelasi kerja
26 pensiun
27 demosi
28 adanya perubahan kualitatif dalam jabatan
29 promosi yang terlalu dini
30 perubahan pada pola shift
31 situasi dimana tidak ada perubahan sama sekali
Untuk menerangkan bagaimana karakteristik-karakteristik di atas menimbulkan stres pada pekerja, diberikut ini dikemu-kakan sebuah ilustrasi. melaluiataubersamaini adanya perkembangan teknologi, proses industri kini ini banyak memakai mesin-mesin dengan teknologi yang canggih. Mesin-mesin tersebut mempunyai cara kerja yang otomatis dengan kecepatan kerjanya sendiri. Adanya keadaan ini menimbulkan perasaan tidak mengenakkan pada diri pekerja. Pertama, otomatisasi membuat pekerja spesialuntuk mempunyai peranan yang relatif kecil dalam proses produksi lantaran sebagian besar pekerjaan sudah diambil alih oleh mesin, dan ini membuat pekerja merasa kurang dihargai. Kedua, pekerja harus mengikuti keadaan dengan kecepatan kerja mesin yang seringkali menciptakannya harus memusatkan perhatian secara terus-menerus, yang sanggup menimbulkan keletihan baik fisik maupun mental kepada pekerja tersebut. Ketiga, keadaan inipun membuat korelasi sosial pekerja dengan pekerja lainnya menjadi berkurang lantaran pekerja harus memusatkan perhati-annya kepada mesin. Ketiruananya ialah sumber stres bagi pekerja tersebut.
misal konkret adanya stres akhir kecepatan kerja mesin terdapat pada pekerja lini rakit (assembly line) yang menggu-nakan peralatan mekanis modern. Penelitian Hinkle pada Bell Telephone Company mendukung pernyataan di atas (Fraser, hal. 94).
Dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik di atas, Kagan dan Levi (1971) menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan genetis untuk mengikuti keadaan dengan lingkungannya, dan mempunyai sikap tertentu untuk mengata-si lingkungannya tersebut (Fraser, hal.83). Jika stimulus yang dihadapi individu tidak melebihi batas-batas ambang penyesuainnya maka individu tersebut tidak akan tergangggu baik fisik maupun mentalnya. Kondisi fisik/mental individu terganggu kalau stimulus yang dihadapinya menuntut penyesuaian diri yang melebihi batas ambangnya sehingga ia tidak bisa lagi mengatasi lingkungannya. Jika hal ini berlangsung terus menerus akan muncul simptom-simptom stres menyerupai gangguan percernaan migraine, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
2.Karakteristik Pekerja
Pendekatan ini bertolak dari pendapat bahwa individu mempunyai ambang stres yang tidak sama. melaluiataubersamaini demikian, karakteristik individu akan mensugesti kadar stres yang dihayatinya. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor-faktor diberikut ini sanggup mensugesti ambang stres seseorang (Braznitz & Golberger, hal.434) :
32 Usia
33 jenis kelabuin
34 kebangsaan dan suku bangsa
35 taraf hidup
36 banyaknya perubahan yang dialami semasa hidup
37 kecenderungan work addict
38 kecenderungan neurotik dan depresi
39 fleksibilitas kepribadian
40 prosedur pertahanan diri yang dipergunakan
41 self esteem
42 makna pekerjaan bagi individu
Salah satu teori yang berlandaskan pada teori ini yakni yang diajukan oleh Rosenman dan Friedman (1974) yang menggo-longkan individu kedalam dua pola sikap yaitu individu tipe A dan individu tipe B, yang dikaitkan dengan kerentanan individu terhadap penyakit jantung (Breznizt & Golberger, hal.547).
Individu dengan pola sikap tipe A lebih simpel terjangkit penyakit jantung (CHD) terlepas dari faktor-faktor fisik dan jenis pekerjaan mereka. Dua karakteristik utama individu dengan pola sikap tipe A yakni adanya suatu dorongan yasng besar untuk bersaing dan perasaan menetap wacana pentingnya waktu. Individu dengan pola sikap tipe A sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu, berlomba dengan waktu, beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan kelain pekerjaan, dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu dengan pola sikap tipe A selalu berada dalam keadaan tegang dan stres. Walaupun pekerjaan relatif bebas dari sumbner-sumber stres, mereka membawa stres mereka sendiri dalam bentuk pola perilakunya. Stres selalu timbul pada dikala bekerja maupun pada waktu senggang mereka.
Individu dengan pola sikap tipe B mungkin sama ambisiusnya dengan individu tipe A, tetapi mereka lebih santai dan mendapatkan situasi seadanya. Individu tipe B beker-ja dengan nyaman tanpa perjuangan untuk memerangi situasi ynag mereka hadapi secara kompetitif. Dalam menghadapi tekanan waktu, sikap mereka lebih santai sehingga jarak mengalami masalah-masalah yang bekerjasama dengan stres dan tegang. melaluiataubersamaini demikian individu tipe B sanggup bekerja sebaik yang dilakukan oleh tipe A tetapi lebih sedikit mengalami akibat-akibat yang menyakitkan dari stres.
Sebenarnya, pertolongan pola sikap ini tidak menun-jukkan ciri kepribadian yang statis, akan tetapi lebih meng-gambarkan gaya sikap yang disertai dengan beberapa reaksi kebiasaan seseorang dalam menghadapi situasi disekitarnya. House (1973) menambahkan bahwa ciri psikis utama individu tipe A yakni keinginan untuk mencapai prestasi sosial (social achievement) yang sanggup dianalogikan dengan mencari status (status seeking). Glass (1977) menerka bahwa faktor utama yang menimbulkan timbulnya pola sikap tipe A yakni keinginan atau obsesi untuk mengendalikan lingkungan. melaluiataubersamaini demikian, permasalahan yang dihadapi oleh individu tipe A pada tidak bisa tidak melaksanakan sesuatu sama sekali (inactivity). Individu tipe A akan menghayati stres yang relatif lebih besar kalau mereka dibiarkan tanpa didiberikan pekerjaan atau aktivitas.
3. Pendekatan Interaksi
Teori-teori yang didasari oleh pendekatan ini berpenda-pat bahwa stres tidak semata-mata disebabkan oleh situasi lingkungan kerja atau semata-mata oleh karakteristik pekerja yang bersangkutan melainkan oleh interaksi antara kedua faktor tersebut. Berdasarkan pendekatan interaksi ini, Cox dan Mackay (1979) menyampaikan bahwa stres ialah hasil penafsiran seseorang terkena keterlibatannya dalam lingkung-annya, baik secara fisik maupun secara psikososial. Stres atatu ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseim-bangan antara persepsi orang tersebut terkena tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya terkena kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, hal. 80). Ini berar-ti bahwa tidak ada stresor yang diberifat universal. Stimulus yang sama sanggup menimbulkan intensitas stres yang tidak sama atau bahkan tidak menimbulkan stres sama sekali pada individu yang mempersepsi dirinya bisa menghadapi stres tersebut. melaluiataubersamaini demikian, yang menjadi pokok bahasan yakni persepsi individu terhadap situasi dan partisipasi aktif individu dalam interaksi yang berlangsung. melaluiataubersamaini perkataan lain, cara individu menghadapi stres lebih penting daripada frekwensi dan kadar stres itu sediri.
Salah satu model teori interaksi yang cukup terkenal berasal dari French (1982), yang disebutnya “the Person Enviromental fit Model”. Menurut French, stress terdapat pada kotak G dalam model P-E nya, yaitu sebagai “Subjective Person-Environment Fir”. Dalam hal ini, konsep stress dari Mc.Grath, yang menekankan duduk masalah persepsi.
Seperti yang digambarkan dalam model P-E stress tidak timbul akhir stressor lingkungan semata melainkan ialah hasil persepsi individu terhadap kemampuan dan motivasinya untuk menghadapi stressor tersebut. Faktor persepsi dalam model tersebut ialah faktor yang paling menentukan bobot stres dari suatu situasi.
Dalam model P-E tersebut, persepsi individu dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan (Objective Social Environment) dan karakteristik individu (Objective Person). melaluiataubersamaini demi-kian kalau salah satu dari kedua hal ini berubah, persepsi individu pun akan berubah, sehingga pada kesannya bobot stres yang dihayati akan berubah pula.
French juga mengemukakan bahwa stress yang dipersepsi sanggup dikurangi melalui dua mekanisme, yaitu “Social Support” dan “Ego Defence”. Artinya, kalau individu memperoleh pertolongan sosial yang memadai dari lingkungan dan/atau memakai ego defence yang tepat, stress sanggup menurun intensitasnya.
melaluiataubersamaini demikian, menurut model P-E dari French di atas, usaha-usaha yang diarahkan untuk menurunkan intensitas stres sanggup dilakukan melalui perubahan persepsi dan pembeian pertolongan sosial. Cobb (1976) sudah mempersembahkan bukti yang mengesankan bahwa di dalam suatu krisis, yang nyata-nyta ialah suatu situasi penuh stres, pertolongan sosial sanggup melindungi insan dari guaka ragam kondisi patologis (Fraser, hal. 87). Menurut Lieberman dkk, secara teoritis kiprah pertolongan sosial yakni sebagai diberikut (Goldberger & Breznitz, hal. 778) :
1. Social resources sanggup mengurangi peluang terjadinya situasi yang bisa membangkitkan stres
2. Bila situasi tersebut terjadi juga, interaksi dengan ‘significant orthers’ sanggup memodifikasikan persepsi indi-vidu terhadap situasi tersebut. melaluiataubersamaini demikian, intensitas stres yang timbul sanggup dikurangi
3. Tingkat stres yang dialami oleh individu erat hubungannya dengan tingkat perubahan yang ditimbulkan oleh situasi tersebut, dalam hal ini yakni perubahan peran. Social resources sanggup mengubah persepsi individu wacana kekerabatan antara kiprahnya yang terancam dengan situasi yang menimbulkan stres.
4. Social resources sanggup mengubah persepsi individu wacana taktik ‘coping’ yang tepat, contohnya dengan cara mempe-ngaruhi individu untuk memakai taktik tertentu.
5. Social resources sanggup memodifikasikan dampak stresor yang mengikis harga diri dan keyakinan individu.
6. Social resources kuat pribadi terhadap tingkat pembiasaan yang dimiliki individu
melaluiataubersamaini demikian, pertolongan sosial tidak saja sanggup meredam dampak stres melainkan juga sanggup mengurangi peluang terjadinya stres.
42.4 KEPUASAN KERJA
Kepuasan kerja akhir-akhir ini semakin terasa penting artinya dalam lingkup organisasi. Kepuasan kerja mempunyai efek yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara pribadi ataupun tidak langsung. Ketidakpuasan ialah titik pertama dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi, menyerupai kemangkiran, konflik manager-pekerja, ‘turn-over’, serta banyak duduk masalah lainnya yang menimbulkan terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan sanggup menimbulkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Secara umum sanggup dikemukan bahwa pemecahan masalah-masalah organisasi dari segi manusianya sanggup dilakukan melalui prinsip-prinsip kepuasan kerja. melaluiataubersamaini adanya kepuasan kerja yang tinggi akan muncul ikatan yang positif antara pekerja dengan pekerjaannya, sehingga dari pekerja ini sanggup dibutuhkan suatu hasil yang optimal. Dari hampir tiruana perusahaan yang mengalami kemajuan yang pesat ditandai dengan tanda-tanda kepuasan kerja yang tinggi di antara para pekerjanya.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip kepuasan kerja diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pekerja. Milton menyata-kan bahwa kepuasan kerja ialah kondisi emosional positif atau sangat senang yang dihasilkan dari penilaian pekerja menurut pengalamannya (Milton, hal.151). Lebih jauh lagi, Milton mangatakan reaksi efektif pekerja terhadap pekerja-annya tergantung kepada taraf pememnuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesentidakboleh antara yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkannya menjadi dasar bagi munculnya kepu-asan atatu ketidakpuasan. Beberapa andal sudah mencoba mengemukakan faktor-faktor yang terlibat dalam kepuasan kerja. Herzberg, menyerupai yang dikutif oleh Gilmer (1961), mengemukakan faktor-faktor kemapanan atau keamanan pekerjaan, peluang untuk maju, pandangan pekerja terkena perusahaan dan manajemennya, penghasilan, aspek-aspek intrinsik pekerjaan, kualitas penyeliaan, aspek-aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, serta kondisi kerja fisik dan jam kerja sebagai faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja. Perlu dicatat bahwa hasil penelitian diatas diperoleh dari laporan pekerja yang sebagian besar pekerja dalam kondisi yang cukup baik, dengan penghasilan yang mencukupi dan korelasi dengan atasan-bawahan yang baik.
Ruth Johnston (1975) menekankan bahwa kebutuhan akan uang dan kondisi fisik relatif tidak penting bila dua hal tersebut, paling tidak hingga pada taraf tertentu, sudah terpenuhi. Lebih lanjut lagi, penelitian yang dilakukan Johnston menawarkan urutan preferensi di antara pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang menarikdanunik yakni rekan sekerja yang ramah, manajemen yang efisien, penghasilan yang tinggi, dan penyelia yang penuh perhatian. Sedangkan bagi pekerja wanita, urutan prefensinya bergerak dari rekan sekerja yang ramah, penyelia yang penuh perhatian, manajemen yang efisien, dan penghasilan yang tinggi. Dalam penelitian diberikutnya (Johnston, 1973) menun-jukan bahwa pekerja menilai keramahan dan perhatian pada pekerjaan sebagi suatu sifat yang istimewa (Fraser, hal. 55).
Dari kenyataan-kenyataan di atas tampak bahwa faktor-faktor kekerabatan sosial yang baik dan penghargaan terhadap prestasi kerja ialah faktor-faktor yang sangat menetukan kepuasan kerja. Faktor penghasilan dan imbalan lainnya walaupun masih dianggap penting, tidak memperoleh pementingan yang khusus. melaluiataubersamaini demikian, untuk meningkatkan kepuasan kerja kedua hal itu harus terpenuhi terlebih lampau.
2.4 STRES DAN KEPUASAN KERJA
Pekerjaan mengatur lalu-lintas udara dianggap sebagi salah satu pekerjaan yang paling menimbulkan stres. Jam demi jam mereka harus selalu waspada, mengawasi sejumlah pesawat terbang yang hadir dan pergi dengan kecepatan dan ketinggian masing-masing. Walaupun demikian, dua buah penelitian (Singer & Ruterfranz, 1971; R.C Smith, 1973) menandakan bahwa aspek-aspek pekerjaan yang tidak disukai oleh pengawas lalu-lintas udara yakni administrasi, kualitas manajemen, upah/penghasilan, kerja malam (saat lalu-lintas udara tidak padat), dan yang disebut ‘stres’ (beban mental atau tanggung tanggapan yang besar) tidak termasuk kedalam aspek pekerjaan yang tidak disukai dan bahkan terkadang termasuk ke dalam aspek pekerjaan yang disukai (Cooper & Payne, hal. 9).
Dari penelitian yang dilakukan Caplan dan kawan-kawan terhadap 2000 pekerja dari 23 jabatan di Amerika Serikat, Fraser menarikdanunik kesimpulan bahwa lingkungan stres yang dirasakan secara subyektif lebih berperan sebagai penentu ketegangan daripada lingkungan itu sendiri, dan bahwa reaksi subyektif menyerupai kecemasan, kemarahan, tekanan mental, dan gangguan-gangguan psikosomatis berkaitan erat satu sama lainnya dan sepertinya lebih dipengaruhi oleh ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada oleh sifat-sifat pekerjaan itu sendiri (Fraser, hal.92). Lebih jauh lagi, Fraser juga menga-takan bahwa unsur-unsur yang sama, yang identik dengan pembangkit stres, juga diputuskan sebagai penyebab ketidak-puasan.
Salah satu kondisi kerja yang sanggup menimbulkan stres pada diri pekerja yakni kerja paruh waktu (shift work). Keluhan-keluhan yang muncul pada kondisi kerja ini antara lain gangguan susah pulas, gangguan pencernaan, dan gangguan-gangguan sosial Goldberger & Breznizt, hal.432). Tetapi keadaan sanggup diperbaiki oleh motivasi pekerja itu sendiri. Bila kerja lembur atatu kerja malam memang dikehendaki oleh pekerja itu sendiri, stres akan diperkecil dan demikian pula ketegangan yang diakibatkannya. Taylor (1974) melaporkan bahwa masalah-masalah pembuluh darah jantung (kardiovaskuler) lebih umum dialami oleh para pekerja siang hari daripada para pekerja malam hari (Fraser, hal. 96).
Dari penjelasan-penjelasan diatas tampak bahwa kepuasan kerja sanggup mensugesti kadar stres dan sanggup mengurangi dampak menyakitkan dari stres tersebut. Robert R. Holt menyatakan bahwa :
Job satisfaction is eudently highly relevant to occupational stress and its pathogenics effects.
(Goldberger & Breznizt, hal.436).
BAB 3
TINJAUAN KRITIS
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kepuasan kerja sanggup menurunkan kadar stres dan mengurangi dampak stres tersebut terhadap diri pekerja. Berdasarkan model P-E dari French, stres muncul kalau terdapat kesentidakboleh antara persepsi individu terkena kebutuhan-kebutuhannya dan persepsi individu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dari lingkungannya, serta adanya kesentidakboleh antara persepsi individu terkena tuntutan lingkungan. Kepuasan kerja, yang berarti terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pekerja, menawarkan kesesuaian antara persepsi individu terkena kebutuhannya dan persepsi terkena pemenuhan kebutuhan tersebut dari lingkungan. Tampak terang bahwa stres bahwa kepuasan kerja sendiri berarti tidak adanya stres individu.TINJAUAN KRITIS
Kepuasan kerja ialah kondisi emosional yang positif atau sangat senang terhadap pekerjaan, yang berarti bahwa makna pekerjaan bagi pekerja yang puas menjadi positif. melaluiataubersamaini adanya makna pekerjaan yang positif ini pekerja menjadi lebih siap menghadapi tuntutan-tuntutan pekerjaannya tersebut. melaluiataubersamaini demikian, walaupun individu dihadapkan pada pekerjaan yang mempunyai kemungkinan mempersembahkan stres yang besar, kadar stres dan dampak stres yang dihayatinya tidaklah terlalu besar. Makna pekerjaan bagi individu ialah sumber stres yang potensial.
Model P-E menekankan kepada kesesuaian antara karak-teristik individu dan karakteristik lingkungan. Berdasarkan pendekatan ini, perjuangan untuk mengurangi kadar stres dan dampak stres di lingkungan pekerjaan tidak sanggup dilakukan spesialuntuk dengan memperhatikan faktor pekerjaan semata, melaikan juga turut memperhatikan faktor pekerjanya. Pekerjaan-pekerjaan tertentu sanggup kembali dirancang biar tercapai kesesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan pekerja. Misalnya dengan melaksanakan pemerkayaan pekerjaan pada pekerjaan lini rakit. Pada perkerjaan-pekerjaan tertentu, contohnya penjinak bom atau instruktur singa untuk sirkus, perubahan pada pekerjaan tersebut tidak sanggup dilakukan. Dalam hal ini, perjuangan mengu-rangi stres dan dampak stres lebih ditujukan pada pemilihan pekerja yang sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan Teknik lain yang sanggup dipergunakan untuk mengurangi stres dan dampaknya yakni dengan mengubah persepsi pekerja terkena pekerjaan dan kemampuannya. Menurut pendekatan interaksional, persepsi memegang peranan yang besar dalam menentukan kadar stres dan dampak stres tersebut. Di lingkungan pekerjaan perubahan persepsi pekerja sanggup dilaku-kan oleh atasan pekerjaan tersebut yang mempersembahkan keyakinan diri dan perasaan kondusif kepada pekerjanya.
Faktor lain yang mensugesti daya tahan terhadap stres dalam pekerjaan yakni pertolongan sosial (social supports), yaitu jalinan ikatan sosial dan keluarga dari pekerja. Dukungan sosial dan keluarga ini sanggup menurunkan akibat-akibat ketidakpuasan dalam pekerjaan, dengan memdiberi kepuasan-kepuasan dan pencapaian-pencapaian yang lain diluar pekerjaan. Dukungan sosial dan keluarga sanggup menyalurkan perasaan-perasaan negatif pekerja terhadap pekerjaannya dan menimbulkan harga diri, penerimaan, serta kepercayaan terha-dap diri sendiri. Dari penelitian-penelitian yang sudah dikemukakan sebelumnya, tampak bahwa kebutuhan pekerja yang utama yakni korelasi sosial yang baik antara pekerja dan penyelia. melaluiataubersamaini demikian, tampak terang bahwa pertolongan sosial mempunyai arti yang penting bagi pemuasan kebutuhan pekerja dan penurunan kadar stres maupun dampaknya.
Adanya korelasi yang baik dengan penyelia atau atasan memungkinkan pekerja untuk mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapinya, yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini tentu mempunyai dampak yang baik bagi penurunan ketegangan pekerja tersebut lantaran melalui cara demikian pekerja sedikit banyak sanggup menyalurkan ketegangannya (kartasis). Selain itu, dengan adanya korelasi yang baik ini, pekerja memperoleh keyakinan bahwa pihak manajemen mempersembahkan penghargaan terhadap dirinya sebagai manusia, pihak manajemen sanggup memahaminya, dan bukan ialah ancaman bagi dirinya. Di lain pihak, komunikasi dari pekerja ialah suatu informasi yang berharga bagi pihak manajemen yang sanggup dipergunakan untuk memperbaiki kondisi kerja di perusahaan tersebut.
BAB 4
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya sanggup disimpulkan hal-hal diberikut :KESIMPULAN
- Stres dan kepuasan kerja mempunyai korelasi timbal-balik. Kepuasan kerja sanggup meningkatkan daya tahan individu terhadap stres dan dampak-dampak stres dan sebaliknya, stres yang dihayati oleh individu sanggup menjadi sumber ketidakpuasan.
- Kebutuhan utama pekerja pada kala teknologi canggih ini yakni adanya korelasi sosial yang baik dengan pekerja lainnya dan dengan penyelia/atasan serta penghargaan terhadap prestasi kerjanya. Sehingga dengan demikian, biar kepuasan kerja sanggup tercapai maka perusahaan hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada sisi lain, adanya korelasi sosial yang baik ini sanggup dipersepsi pekerja sebagi pertolongan sosial yang sanggup menurunkan ketegangan yang dihayatinya.
- Usaha menurunnya stres dan dampaknya dari lingkungan pekerjaan sanggup dilakukan melalui perancangan kembali pekerjaan dan menentukan pekerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilaksanakannya. Tujuannya yakni biar pekerjaan tidak dipersepsi sebagai suatu tekanan atau sumber ketegangan oleh pekerja.
- Dalam perjuangan mengurangi kadar stres dan dampaknya tersebut penyelia atau atasan sanggup berperan sebagai konselor yang berusaha memmenolong pekerja mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
DAFTAR PUSTAKA
Cooper, Cary L. & Roy Payne, Stress at Work, John Wiley and Sons Ltd., New York, 1978Fraser, T.M., Stress & Kepuasan Kerja, PT. Pustaka Binaman Pressindo, LPPM, Jakarta, 1985
Goldberger, Leo & Shlomo Breznizt, Handbook of Stress, The Free Press, New York, 1982
Landy, Frank J., Psychology of Work Behavior, 3rd edition, The Dorsey Press, USA, 1985
Milton, Charles R., Human Behavior in Organization, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1981
Wexley, Kenneth N. & Gary A. Yukl, Organizational Behavior and Personnel Psychology, Richard D. Irwin Inc., 1977