Pengertian Moral Kerja
Istilah susila dipakai untuk menunjukan sikap organisasi. Di dalam organisasi bisnis, tentu saja pengertian susila tersebut dikaitkan dengan kegiatan kerja dan diistilahkan dengan employee morale.
Beberapa pengertian susila kerja sanggup kita lihat dari beberapa uraian teoritis di bawah ini:
Drafke & Kossen (1998;295) mendefinisikan:
Morale is employee’s attitudes toward either their employing organizations in general or towards spesific job factors, such as supervision, fellow employees, and financial incentive. It can be ascribed to either the individual or to the group of which he or she is apart.
Dalam hal ini Drafke & Kossen menyampaikan bahwa susila kerja mengacu pada sikap-sikap karyawan baik terhadap organisasi-organisasi yang mempekerjakan mereka, maupun terhadap faktor-faktor pekerjaan yang khas, menyerupai supervisi, sesama karyawan, dan rangsangan-rangsangan keuangan. Ini sanggup dianggap berasal baik dari individu maupun kelompok yang ialah bab dimana karyawan berada.
Keith Davis (1989:76) mengemukakan bahwa:
When they refer to morale, they usually mean the attitude of individuals and groups toward their work environment and toward voluntary cooperation to the full extent of their ability in the best interest of organization. Emphasis is upon the drive to do good work rather than contentment.
Menurut Keith Davis, berbicara terkena susila kerja, kita selalu mengartikan susila sebagai sikap perorangan dan kelompok terhadap lingkungan kerjanya dan sikap untuk bekerja sebaik-baiknya dengan mengerahkan kemampuan yang dimiliki secara sukarela. Dalam hal ini lebih menekankan pada dorongan untuk bekerja dengan sebaikbaiknya daripada sekedar kesenangan saja.
Lebih lanjut William B. & Keith Davis (1993:541-549) menghubungakan susila kerja dengan quality of work life effort. Menurutnya, susila kerja bermanfaa dan sanggup dipakai untuk banyak sekali kepentingan yang bersahabat kaitannya dengan perjuangan membina kekerabatan antar karyawan, komunikasi informal dan formal, pembentukan disiplin serta konseling.
Judith R.Gordon (1991:754) mengungkapkan:
…a predisposition in organization members to put forth extra effort in achieving organizational goals and objectives. Included feeling of commitment. Morale is a group phenomenon involving extra effort, goals communality, and feelings of belonging.
Menurutnya susila kerja yaitu suatu predisposisi dari anggota organisasi untuk berupaya keras dalam mencapai samasukan dan tujuan organisasi. Moral mencakup janji terhadap tujuan itu. Moral yaitu suatu fenomena kelompok yang mencakup upaya keras, adanya tujuan bersama dan perasaan memiliki.
Harris (1984:238) menyatakan:
Morale is to view it as workers’ perceptions of the existing state of their well being-in order words, the workers’ degree of satisfaction with organizational conditions and circumtances. Morale is said to be “high” when conditions and circumtances appear to be favorable and “low” when conditions are unfavorable.
Menurut Harris, susila kerja dimaksudkan sebagai persepsi karyawan terhadap keadaan yang ada dengan kata lain kesejahteraan, tingkat kepuasan karyawan dengan kondisi organisasi dan keadaan sekitarnya. Moral dikatakan tinggi apabila kondisi dan keadaan sekitarnya nampak sangat senang dan dikatakan rendah apabila kondisi tidak sangat bahagia.
Dari sejumlah pengertian yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa susila kerja yaitu suatu predisposisi yang mensugesti kemauan, perasaan dan pikiran untuk bekerja dan berupaya mencapai tujuan yang sudah diputuskan dengan sebaik-baiknya.
Moral kerja sanggup dilihat dalam kaitannya dengan susila individual dan susila kelompok. Moral individual berarti semangat individu untuk menyumbangkan tenaga maupun pikirannya dalam perjuangan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan susila kerja kelompok berarti semangat kerja dari kelompok secara gotong royong untuk menyumbangkan
tenaga dan pikirannya guna mencapai tujuan bersama.
Hubungan Moral Kerja dan Produktivitas Karyawan
Harris (1984:239) menunjukan bahwa sejak susila dilibatkan kedalam sikap-sikap karyawan, yaitu penting untuk meninjau akhir dari susila tinggi (dipersepsi dengan kepuasan tinggi) dan susila rendah (persepsi kepuasan rendah).
Satu dari imbas atau efek yang tidak sanggup diramalkan dari susila yaitu dampak pada produktivitas karyawan. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh Kazt dan Vroom menunjukkan tidak ada korelasi yang konsisten antara tingkat susila kerja yang spesifik dengan kinerja produktif karyawan. Kadang-kadang produktivitas tinggi dan susila juga tinggi, tetapi di lain waktu produktivitas rendah meskipun susila kerja tinggi dan sebaliknya.
Di sisi lain, Drafke & Kossen (1998;296) menyampaikan bahwa korelasi eksklusif antara susila kerja dan produktivitas yaitu susila yang tinggi akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Demikian pula kalau susila rendah akan mengurangi
produktivitas. Sedangkan Herzberg (dalam Gellerman, 1984:321) meringkaskan berbagai
penelitian yang dipublikasikan terkena imbas susila kerja terhadap produktivitas sebagai diberikut:
Dari seluruh survey yang dilaporkan, 54% menyampaikan bahwa susila yang tinggi berkaitan dengan produktivitas yang tinggi; sementara 35% lainnya menyampaikan bahwa susila tidak berafiliasi dengan produktivitas; dan 11% lainnya sebut susila tinggi berafiliasi dengan produktivitas yang rendah. Hubungan itu tidak mutlak, tetapi terdapat cukup banyak data yang mendukung bahwa memdiberi perhatian pada karyawan besar lengan berkuasa terhadap meningkatnya keluaran karyawan. Korelasi yang rendah itu berarti bahwa selain sikap kerja tentu banyak faktor lainnya yang juga mensugesti produktivitas.
Selanjutnya Harris menyampaikan bahwa kemungkinan tanda-tanda korelasi antara produktivitas dengan tingkat susila harus dipertimbangkan dari tiga persepsi yang mensugesti tingkat susila menyerupai yang sudah disebutkan di atas, yaitu (1) persepsi karyawan terhadap keadaan organisasi yang tidak sanggup dikendalikannya, menyerupai pengawasan, kolaborasi dengan rekan sekerja, dan kebijakan organisasi terhadap pekerja.
Bila faktor tersebut dipandang sangat senang bagi karyawan, susila kerja akan cenderung tinggi (2) persepsi karyawan terhadap tingkat kepuasan yang diperoleh dari imbalan yang diterima (3) persepsi karyawan terhadap kemungkinan untuk mendapat imbalan dan masa depan serta peluang untuk maju. Harris mencoba menggambarkan keterkaitan antara persepsi karyawan dan tingkat susila kerja serta efeknya pada skema diberikut ini:
Dari gambar di atas Harris menunjukan bahwa apabila persepsi mengarah pada keadaan susila tinggi, imbas positif lain akan dihasilkan, dan tiruana kegiatan dilakukan secara sukarela. melaluiataubersamaini susila tinggi, pegawai cenderung menyampaikan kemauan untuk dibawa kerjasama, lebih puas dengan kondisi yang ada, mau mematuhi peraturan, berhati-hati dalam memakai peralatan milik perusahaan, menyampaikan loyalitas dan hormat terhadap perusahaan, sanggup bekerjasama dengan harmonis, dan bekerja tanpa keluhan. Moral tinggi juga cenderung mengurangi absen, mangkir dan pergantian pegawai. Dan tentu saja sebaliknya kalau susila rendah, maka banyak sekali imbas kebalikan dari hal di atas akan terjadi.
Pemeliharaan susila kerja yang tinggi harus dianggap sebagai tanggung tanggapan administrasi yang permguan, alasannya sekali susila kerja merosot, maka diharapkan waktu usang untuk memperbaikinya kembali. Menurut Gellerman (1984:322), susila kerja yang buruk sanggup menjadikan pemogokan, pemerkerjaan karyawan yang berlebihan, kepurapuraan, dan banyak sekali reaksi lainnya. Selanjutnya susila kerja yang rendah sanggup mempunyai akhir jangka panjang dan jauh lebih merusak organisasi daripada hilangnya produktivitas temporal. Bakat manajerial dan profesional kiranya akan jauh lebih berkembang bila susila kerja dipertahankan pada suatu tingkat yang tinggi, dan citra yang didiberikan perusahaan terhadap karyawan gres yang prospektif sanggup sangat menunjang kondisi susila kerja intern secara luas. Oleh alasannya itu perlulah untuk terus menerus menganalisa kekuatan yang mensugesti susila kerja dan mengambil langkahlangkah yang sempurna guna memeliharanya daripada bereaksi setelah keadaan yang fokus muncul.
Istilah susila dipakai untuk menunjukan sikap organisasi. Di dalam organisasi bisnis, tentu saja pengertian susila tersebut dikaitkan dengan kegiatan kerja dan diistilahkan dengan employee morale.
Beberapa pengertian susila kerja sanggup kita lihat dari beberapa uraian teoritis di bawah ini:
Drafke & Kossen (1998;295) mendefinisikan:
Morale is employee’s attitudes toward either their employing organizations in general or towards spesific job factors, such as supervision, fellow employees, and financial incentive. It can be ascribed to either the individual or to the group of which he or she is apart.
Dalam hal ini Drafke & Kossen menyampaikan bahwa susila kerja mengacu pada sikap-sikap karyawan baik terhadap organisasi-organisasi yang mempekerjakan mereka, maupun terhadap faktor-faktor pekerjaan yang khas, menyerupai supervisi, sesama karyawan, dan rangsangan-rangsangan keuangan. Ini sanggup dianggap berasal baik dari individu maupun kelompok yang ialah bab dimana karyawan berada.
Keith Davis (1989:76) mengemukakan bahwa:
When they refer to morale, they usually mean the attitude of individuals and groups toward their work environment and toward voluntary cooperation to the full extent of their ability in the best interest of organization. Emphasis is upon the drive to do good work rather than contentment.
Menurut Keith Davis, berbicara terkena susila kerja, kita selalu mengartikan susila sebagai sikap perorangan dan kelompok terhadap lingkungan kerjanya dan sikap untuk bekerja sebaik-baiknya dengan mengerahkan kemampuan yang dimiliki secara sukarela. Dalam hal ini lebih menekankan pada dorongan untuk bekerja dengan sebaikbaiknya daripada sekedar kesenangan saja.
Lebih lanjut William B. & Keith Davis (1993:541-549) menghubungakan susila kerja dengan quality of work life effort. Menurutnya, susila kerja bermanfaa dan sanggup dipakai untuk banyak sekali kepentingan yang bersahabat kaitannya dengan perjuangan membina kekerabatan antar karyawan, komunikasi informal dan formal, pembentukan disiplin serta konseling.
Judith R.Gordon (1991:754) mengungkapkan:
…a predisposition in organization members to put forth extra effort in achieving organizational goals and objectives. Included feeling of commitment. Morale is a group phenomenon involving extra effort, goals communality, and feelings of belonging.
Menurutnya susila kerja yaitu suatu predisposisi dari anggota organisasi untuk berupaya keras dalam mencapai samasukan dan tujuan organisasi. Moral mencakup janji terhadap tujuan itu. Moral yaitu suatu fenomena kelompok yang mencakup upaya keras, adanya tujuan bersama dan perasaan memiliki.
Harris (1984:238) menyatakan:
Morale is to view it as workers’ perceptions of the existing state of their well being-in order words, the workers’ degree of satisfaction with organizational conditions and circumtances. Morale is said to be “high” when conditions and circumtances appear to be favorable and “low” when conditions are unfavorable.
Menurut Harris, susila kerja dimaksudkan sebagai persepsi karyawan terhadap keadaan yang ada dengan kata lain kesejahteraan, tingkat kepuasan karyawan dengan kondisi organisasi dan keadaan sekitarnya. Moral dikatakan tinggi apabila kondisi dan keadaan sekitarnya nampak sangat senang dan dikatakan rendah apabila kondisi tidak sangat bahagia.
Dari sejumlah pengertian yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa susila kerja yaitu suatu predisposisi yang mensugesti kemauan, perasaan dan pikiran untuk bekerja dan berupaya mencapai tujuan yang sudah diputuskan dengan sebaik-baiknya.
Moral kerja sanggup dilihat dalam kaitannya dengan susila individual dan susila kelompok. Moral individual berarti semangat individu untuk menyumbangkan tenaga maupun pikirannya dalam perjuangan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan susila kerja kelompok berarti semangat kerja dari kelompok secara gotong royong untuk menyumbangkan
tenaga dan pikirannya guna mencapai tujuan bersama.
Hubungan Moral Kerja dan Produktivitas Karyawan
Harris (1984:239) menunjukan bahwa sejak susila dilibatkan kedalam sikap-sikap karyawan, yaitu penting untuk meninjau akhir dari susila tinggi (dipersepsi dengan kepuasan tinggi) dan susila rendah (persepsi kepuasan rendah).
Satu dari imbas atau efek yang tidak sanggup diramalkan dari susila yaitu dampak pada produktivitas karyawan. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh Kazt dan Vroom menunjukkan tidak ada korelasi yang konsisten antara tingkat susila kerja yang spesifik dengan kinerja produktif karyawan. Kadang-kadang produktivitas tinggi dan susila juga tinggi, tetapi di lain waktu produktivitas rendah meskipun susila kerja tinggi dan sebaliknya.
Di sisi lain, Drafke & Kossen (1998;296) menyampaikan bahwa korelasi eksklusif antara susila kerja dan produktivitas yaitu susila yang tinggi akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Demikian pula kalau susila rendah akan mengurangi
produktivitas. Sedangkan Herzberg (dalam Gellerman, 1984:321) meringkaskan berbagai
penelitian yang dipublikasikan terkena imbas susila kerja terhadap produktivitas sebagai diberikut:
Dari seluruh survey yang dilaporkan, 54% menyampaikan bahwa susila yang tinggi berkaitan dengan produktivitas yang tinggi; sementara 35% lainnya menyampaikan bahwa susila tidak berafiliasi dengan produktivitas; dan 11% lainnya sebut susila tinggi berafiliasi dengan produktivitas yang rendah. Hubungan itu tidak mutlak, tetapi terdapat cukup banyak data yang mendukung bahwa memdiberi perhatian pada karyawan besar lengan berkuasa terhadap meningkatnya keluaran karyawan. Korelasi yang rendah itu berarti bahwa selain sikap kerja tentu banyak faktor lainnya yang juga mensugesti produktivitas.
Selanjutnya Harris menyampaikan bahwa kemungkinan tanda-tanda korelasi antara produktivitas dengan tingkat susila harus dipertimbangkan dari tiga persepsi yang mensugesti tingkat susila menyerupai yang sudah disebutkan di atas, yaitu (1) persepsi karyawan terhadap keadaan organisasi yang tidak sanggup dikendalikannya, menyerupai pengawasan, kolaborasi dengan rekan sekerja, dan kebijakan organisasi terhadap pekerja.
Bila faktor tersebut dipandang sangat senang bagi karyawan, susila kerja akan cenderung tinggi (2) persepsi karyawan terhadap tingkat kepuasan yang diperoleh dari imbalan yang diterima (3) persepsi karyawan terhadap kemungkinan untuk mendapat imbalan dan masa depan serta peluang untuk maju. Harris mencoba menggambarkan keterkaitan antara persepsi karyawan dan tingkat susila kerja serta efeknya pada skema diberikut ini:
Dari gambar di atas Harris menunjukan bahwa apabila persepsi mengarah pada keadaan susila tinggi, imbas positif lain akan dihasilkan, dan tiruana kegiatan dilakukan secara sukarela. melaluiataubersamaini susila tinggi, pegawai cenderung menyampaikan kemauan untuk dibawa kerjasama, lebih puas dengan kondisi yang ada, mau mematuhi peraturan, berhati-hati dalam memakai peralatan milik perusahaan, menyampaikan loyalitas dan hormat terhadap perusahaan, sanggup bekerjasama dengan harmonis, dan bekerja tanpa keluhan. Moral tinggi juga cenderung mengurangi absen, mangkir dan pergantian pegawai. Dan tentu saja sebaliknya kalau susila rendah, maka banyak sekali imbas kebalikan dari hal di atas akan terjadi.
Pemeliharaan susila kerja yang tinggi harus dianggap sebagai tanggung tanggapan administrasi yang permguan, alasannya sekali susila kerja merosot, maka diharapkan waktu usang untuk memperbaikinya kembali. Menurut Gellerman (1984:322), susila kerja yang buruk sanggup menjadikan pemogokan, pemerkerjaan karyawan yang berlebihan, kepurapuraan, dan banyak sekali reaksi lainnya. Selanjutnya susila kerja yang rendah sanggup mempunyai akhir jangka panjang dan jauh lebih merusak organisasi daripada hilangnya produktivitas temporal. Bakat manajerial dan profesional kiranya akan jauh lebih berkembang bila susila kerja dipertahankan pada suatu tingkat yang tinggi, dan citra yang didiberikan perusahaan terhadap karyawan gres yang prospektif sanggup sangat menunjang kondisi susila kerja intern secara luas. Oleh alasannya itu perlulah untuk terus menerus menganalisa kekuatan yang mensugesti susila kerja dan mengambil langkahlangkah yang sempurna guna memeliharanya daripada bereaksi setelah keadaan yang fokus muncul.