-->
Teori Struktur Modal
1. Modigliani-Miller (MM) Theory
Teori MM tanpa pajak
Teori struktur modal modern yang pertama ialah teori Modigliani dan Miller (teori MM). Mereka beropini bahwa struktur modal tidak relevan atau tidak mempengaruhi nilai perusahaan. MM mengajukan beberapa perkiraan untuk membangun teori mereka (Brigham dan Houston, 2001, p.31) yaitu:
a. tidak terdapat agency cost.
b. tidak ada pajak.
c. Investor sanggup berpinjaman dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perusahaan
d. Investor mempunyai isu yang sama menyerupai administrasi terkena prospek perusahaan di masa depan
e. Tidak ada biaya kebangkrutan
f. Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penerapan dari pinjaman.
g. Para investor ialah price-takers.
h. Jika terjadi kebangkrutan maka aset sanggup dijual pada harga pasar (market value).
melaluiataubersamaini asumsi-asumsi tersebut, MM mengajukan dua preposisi yang dikenal sebagai preposisi MM tanpa pajak.
Preposisi I: nilai dari perusahaan yang berpinjaman sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak berpinjaman. Implikasi dari preposisi I ini ialah struktur modal dari suatu perusahaan tidak relevan, perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan dan weighted average cost of capital (WACC) perusahaan akan tetap sama tidak dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan memadukan santunan dan modal untuk membiayai perusahaan
Preposisi II: biaya modal saham akan meningkat apabila perusahaan melaksanakan atau mencari santunan dari pihak luar. Risk of the equity bergantung pada resiko dari operasional perusahaan (business risk) dan tingkat santunan perusahaan (financial risk).
Brealey, Myers dan Marcus (1999) menyimpulkan dari teori MM tanpa pajak ini yaitu tidak membedakan antara perusahaan berpinjaman atau pemegang saham berpinjaman pada ketika kondisi tanpa pajak dan pasar yang sempurna. Nilai perusahaan tidak bergantung pada struktur modalnya. melaluiataubersamaini kata lain, manajer keuangan tidak sanggup meningkatkan nilai perusahaan dengan merubah proporsi debt dan equity yang digunakan untuk membiayai perusahaan.

Teori MM dengan pajak.

Teori MM tanpa pajak dianggap tidak realistis dan kemudian MM memasukkan faktor pajak ke dalam teorinya. Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti ialah anutan kas keluar. Hutang sanggup digunakan untuk menghemat pajak, alasannya ialah bunga sanggup digunakan sebagai pengurang pajak.
Dalam teori MM dengan pajak ini terdapat dua preposisi yaitu:
Preposisi I: nilai dari perusahaan yang berpinjaman sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak berpinjaman ditambah dengan penghematan pajak alasannya ialah bunga pinjaman. Implikasi dari preposisi I ini ialah pembiayaan dengan santunan sangat menguntungkan dan MM menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan ialah seratus persen pinjaman.
Preposisi II: biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya pinjaman, tetapi penghematan pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan nilai alasannya ialah kenaikan biaya modal saham. Implikasi dari preposisi II ini ialah penerapan santunan yang semakin banyak akan meningkatkan biaya modal saham. Menggunakan santunan yang lebih banyak, berarti memakai modal yang lebih murah (biaya modal santunan lebih kecil dibandingkan dengan biaya modal saham), sehingga akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya modal saham meningkat). Teori MM tersebut sangat perdebatanal. Implikasi teori tersebut ialah perusahaan sebaiknya memakai santunan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, tidak ada perusahaan yang mempunyai santunan sebesar itu, alasannya ialah semakin tinggi tingkat santunan suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga kemungkinan kebangkrutannya. INI yang melatarbelakangi teori MM menyampaikan semoga perusahaan memakai santunan sebanyak-banyaknya, alasannya ialah MM mengabaikan biaya kebangkrutan.

2. Trade-off Theory
Menurut trade-off teory yang diungkapkan oleh Myers (2001), “Perusahaan akan berpinjaman hingga pada tingkat santunan tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari perhiasan santunan sama dengan biaya kesusahan keuangan (financial distress)” (p.81). Biaya kesusahan keuangan (Financial distress) ialah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akhir dari
turunnya dapat dipercaya suatu perusahaan. Trade-off theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor antara lain pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesusahan keuangan (financial distress) tetapi tetap mempertahankan perkiraan efisiensi pasar dan symmetric information sebagai imbangan dan manfaat penerapan pinjaman. Tingkat santunan yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai jumlah yang terbaik terhadap biaya kesusahan keuangan (costs of financial distress). Trade-off theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kesusahan keuangan dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio pinjamannya, sehingga perhiasan santunan tersebut akan mengurangi pajak. Dalam kenyataannya jarang manajer keuangan yang berpikir demikian. Donaldson (1961) melaksanakan pengamatan terhadap sikap struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menawarkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung rasio pinjamannya rendah. Hal ini berlawanan dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak sanggup mengambarkan hubungan negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio pinjaman.

3. Pecking Order Theory

Menurut Myers (1984), pecking order theory menyatakan bahwa ”Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat pinjamannya rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi mempunyai sumber dana internal yang berlimpah.” Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki) dalam penerapan dana. Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart, Megginson, dan Gitman (2004, p.458-459), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam menentukan sumber pendanaan, yaitu :
a. perusahaan lebih menentukan untuk memakai sumber dana dari dalam atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari keuntungan ditahan yang dihasilkan dari acara operasional perusahaan.
b. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menentukan pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu santunan yang paling rendah risikonya, turun ke santunan yang lebih mencakupko, sekuritas hybrid menyerupai obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.
c. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan tetapkan jumlah pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi.
d. Untuk mengantisipasi belum sempurnanya persediaan kas alasannya ialah adanya kebijakan deviden yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta peluang investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia. Pecking order theory tidak mengindikasikan sasaran struktur modal. Pecking order theory mengambarkan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat santunan yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini sanggup mengambarkan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat santunan yang kecil.
Dalam kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam memakai dana untuk kebutuhan investasinya tidak sesuai menyerupai skenario urutan (hierarki) yang disebutkan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Hamid (1992) dan Singh (1995) menyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan di negara berkembang lebih menentukan untuk menerbitkan ekuitas daripada berpinjaman dalam membiayai perusahaannya.” Hal ini berlawanan dengan pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan akan menentukan untuk menerbitkan santunan terlebih lampau daripada menerbitkan saham pada ketika membutuhkan pendanaan eksternal.

4. Equity Market Timing
Teori yang diungkapkan oleh Baker dan Wurgler (2002) ini mengemukakan bahwa “Perusahaan-perusahaan akan menerbitkan equity pada ketika market value tinggi dan akan membeli kembali equity pada ketika market value rendah” (p.1) Praktik inilah yang kemudian disebut sebagai equity market timing.
Tujuan dari melaksanakan equity market timing ini ialah untuk mengeksploitasi fluktuasi sementara yang terjadi pada cost of equity terhadap cost of other forms of capital.
Menurut Baker dan Wurgler (2002), ”Struktur modal ialah hasil kumulatif dari perjuangan melaksanakan equity market timing di masa lalu” (p.3). Baker dan Wurgler menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat santunan rendah ialah perusahaan yang menerbitkan equity pada ketika market value tinggi dan perusahaan dengan tingkat santunan tinggi ialah perusahaan yang menerbitkan equity pada ketika market value rendah. Baker dan Wurgler memakai market-to-book ratio, yang umumnya digunakan sebagai proxy untuk mengukur peluang investasi, namun dalam teorinya market-to-book ratio juga digunakan untuk melihat apakah nilai suatu ekuitas itu overvalued atau undervalued. Baker dan Wurgler membangun suatu model variabel yaitu external finance weighted-average market-to-book ratio. Variabel ini ialah rata-rata tertimbang dari market-to-book ratio suatu perusahaan di masa lampau. Variabel ini digunakan oleh Baker dan Wurgler untuk melihat perjuangan dari suatu perusahaan dalam melaksanakan equity market timing.
Ada dua versi dari equity market timing yang mengikuti hasil penelitian Baker dan Wurgler. Yang pertama ialah versi dinamis dari Myers dan Majluf (1984) terkena isu asimetris yang mengasumsikan rasional manajer dan investor. Versi yang kedua dari equity market timing melibatkan para investor atau manajer yang tidak rasional dan persepsi dari mispricing. Para manajer akan menerbitkan equity ketika mereka yakin bahwa cost of equity rendah dan membeli kembali equity ketika cost of equity tinggi. Market-to-book diketahui secara umum berkorelasi negatif dengan future equity returns, dan nilai ekstrem dari market-to-book dikaitkan dengan ekpektasi-ekspektasi yang ekstrem dari investor, sesuai dengan penelitian dari La Porta (1996), La Porta et al. (1997), Frankel dan Lee (1998), dan Schleifer (2000). Apabila manajer mencoba untuk mengeksploitasi terlalu jauh (ekstrem) ekspektasi-ekspektasi dari investor, net equity issues akan berkorelasi positif dengan market-to-book. Apabila tidak terdapat struktur modal yang optimal, manajer tidak perlu mengganti keputusan-keputusan pendanaannya pada ketika perusahaan sudah dinilai dengan benar dan cost of equity terlihat normal, hal ini menunggu fluktuasi-fluktuasi sementara yang terjadi pada market-to-book mempunyai imbas yang tetap pada leverage.

LihatTutupKomentar