-->
Kedudukan Hukum Peralihan Dalam Suatu Undang-Undang Atau Fungsi Aturanperalihan
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Ketentuan Peralihan yaitu salah satu ketentuan dalam perundang-undangan yang rumusannya sanggup didefinisikan "ketika dibutuhkan atau kalau diperlukan". Definisi ini berarti bahwa tidak tiruana peraturan perundang-undangan mempunyai Ketentuan Peralihan (Transitional Provision). Ketentuan Peralihan dibutuhkan untuk mencegah kondisi kekosongan aturan akhir perubahan ketentuan dalam perundang-undangan. Perubahan dari ketentuan, antara lain terkait dengan kondisi ibarat santunan wilayah, ekspansi wilayah,peralihan kewenangan dari satu forum ke forum lain atau peralihan dari yurisdiksi pengadilan. Ketentuan Peralihan sering dirumuskan (formulated confused) dengan Ketentuan Penutup.
Dalam Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (dalam hal ini pada Kerangka Peraturan Perundang-Undangan) sebagai Lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 wacana Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, keberadaan materi ”Ketentuan Peralihan“ dalam Batang Tubuh Peraturan Perundang-Undangan tertulis “(jika diperlukan)”.
Frasa ”Jika diperlukan“ sanggup diartikan bahwa tidak selalu materi Ketentuan Peralihan tersebut terdapat atau perlu diatur/dirumuskan dalam setiap Peraturan Perundang-Undangan.
Masalah atau hal yang sama dengan materi Ketentuan Peralihan ini yaitu materi Peraturan Perundang-Undangan untuk Ketentuan Pidana, Penjelasan, dan Lampiran. Ketiga hal tersebut dalam Kerangka Peraturan Perundang-Undangan juga tertulis “(jika diperlukan)“.
Jika ditentukan bahwa pengaturan materi Ketentuan Peralihan dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan ”Jika diperlukan“ maka pertanyaan yang muncul paling tidak adalah:
a.       Apa fungsi Ketentuan Peralihan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan?;
b.      Kapan materi Ketentuan Peralihan perlu dan harus dirumuskan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan? Dan;
c.       Mengenai materi apa saja yang harus dirumuskan dalam Ketentuan Peralihan ?.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Fungsi Ketentuan Peralihan Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dalam praktek selama ini masih terdapat ketidak seragaman atau kerancuan dalam merumuskan ataupun menempatkan suatu materi peraturan yang lebih tepat dirumuskan dalam Ketentuan Peralihan (Transitional Provision-Overgangs Bepalingen) ataukah dalam Ketentuan Penutup (Closing Provision-Slot Bepalingen)? Ketentuan Peralihan (Transitional Provision–Overgangs Bepalingen) dalam suatu Peraturan Perundang - ajakan ialah suatu ketentuan aturan yang berfungsi untuk menjaga tidakboleh hingga terdapat pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan dalam Ketentuan Peralihan dimaksudkan biar segala relasi aturan atau tindakan aturan yang sudah dilakukan atau sedang dilakukan dan belum selesai prosesnya berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang diubah (yang lama) tidakboleh dirugikan sebagai akhir berlakunya peraturan yang baru, tetapi harus diatur seadil mungkin sehingga tidak melanggar hak-hak asasi insan sebagaimana dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain terkena jaminan untuk mendapat kepastian aturan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1).
Dalam hal terjadi perubahan suatu ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan maka pembentuk Peraturan Perundang-undangan harus berhati-hati dalam merumuskan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang gres tidakboleh hingga melupakan atau mengesampingkan relasi aturan atau tindakan aturan yang pernah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang usang perlu diatur kesinambunganya atau penyelesaiannya dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan antara lain sanggup terkait dengan perubahan persyaratan suatu perijinan, persyaratan pendirian suatu tubuh hukum, adanya pemekaran atau pemecahan suatu wilayah, atau perubahan yurisdiksi suatu peradilan.
Kesalahan yang sering terjadi yaitu baik dalam merumuskan maupun menempatkan rumusan status peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-Undang yang sudah ada pada ketika Undang-Undang dicabut dan ditetapkan tidak berlaku.
Pembentuk Undang-Undang ada yang menempatkan ketentuan tersebut dalam Ketentuan Peralihan ada juga yang menempatkan dalam Ketentuan Penutup, pada hal dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan kedua ketentuan tersebut mempunyai fungsi yang tidak sama secara esensial antara yang satu dengan yang lain.
Sebagai rujukan terkena kerancuan dalam menempatkan materi ketentuan peralihan tersebut sanggup kita ketemukan dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 wacana Penanaman Modal.
Dalam Pasal 37 ayat (1) tersebut ditempatkan rumusan yang berbunyi sebagai diberikut:

Pasal 37

(1) Pada ketika Undang-Undang ini berlaku, tiruana ketentuan peraturan perundang-undangan yang ialah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 wacana Penanaman Modal Asing sebagaimana sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 wacana Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 wacana Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 wacana Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 wacana Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 wacana Penanaman Modal Dalam Negeri ditetapkan tetap berlaku sepanjang tidak berperihalan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang gres berdasarkan Undang-Undang ini.
Ketentuan Pasal 37 tersebut ditempatkan dalam Ketentuan Peralihan.
Bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 159 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 wacana Perseroan Terbatas yang berbunyi sebagai diberikut:

Pasal 159

Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 wacana Perseroan Terbatas ditetapkan tetap berlaku sepanjang tidak berperihalan atau belum diganti dengan yang gres berdasarkan Undang-Undang ini.
Ketentuan Pasal 159 tersebut ditempatkan dalam Ketentuan Penutup.
Jika kita cermati maka terperinci tidak terdapat kekonsistenan dari pembentuk Undang-Undang baik dalam merumuskan normanya maupun dalam menempatkan ketentuan tersebut dalam sistematika yang tepat. 
Kerancuan tersebut sanggup terjadi sebagai akhir kurang jelasnya rumusan dalam Petunjuk metode Penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dirumuskan dalam petunjuk Nomor 100 (untuk Ketentuan Peralihan) dan petunjuk Nomor 111 abjad c (untuk Ketentuan Penutup).
Dalam petunjuk wacana Ketentuan Peralihan (petunjuk Nomor 100 s/d Nomor 109) sama sekali tidak dijumpai klarifikasi terkena apa bahwasanya fungsi Ketentuan Peralihan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. 
Kejelasan terkena fungsi Ketentuan Peralihan sangat penting bagi Perancang Peraturan Perundang-undangan biar sanggup dihindari kekeliruan atau ketidak tepatan dalam menempatkan norma aturan yang meliputi suatu ketentuan untuk mempersembahkan kepastian aturan terkena kesinambungan atau penyelesaian relasi aturan atau tindakan aturan yang sudah dilakukan sebelum Peraturan Perundang-undangan yang gres ditetapkan berlaku.
Dari rumusan petunjuk Nomor 100 kerancuan dimulai dari frasa ”memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada”.
Frasa ”memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada” sering disalah tafsirkan atau dirancukan dengan bagaimana status dari Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada sebagaimana dalam petunjuk Nomor 111 abjad c dan rujukan pada petunjuk nomor 122 yang ialah materi dari Ketentuan Penutup.
Frasa ”penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan sudah ada” (vide petunjuk Nomor 111 abjad c).
Dalam praktek kedua petunjuk tersebut sering menimbulkan kerancuan alasannya yaitu dirumuskan dengan formulasi rumusan yang serupa tetapi penempatannya yang tidak sama. Ada yang menempatkan pada Ketentuan Peralihan (contoh Pasal 37 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 wacana Penanaman Modal) ada yang menempatkan pada Ketentuan Penutup (contoh Pasal 159 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 wacana Perseroan Terbatas).
Jika mengacu pada rujukan pada petunjuk Nomor 122 (pada Ketentuan Penutup) maka penempatan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 wacana Penanaman Modal seharusnya pada Ketentuan Penutup bukan pada Ketentuan Peralihan.
Untuk menghindari kerancuan yang berkelanjutan terkena penempatan ketentuan yang mengatur penyesuaian Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada ketika Peraturan yang gres mulai berlaku, perlu dilakukan penyempurnaan pada rumusan petunjuk Nomor 100.
Selanjutnya terkena relasi aturan atau tindakan aturan yang sudah ada contohnya kalau terjadi pemekaran wilayah, maka yang perlu diperhatikan untuk diatur secara rinci dan terperinci bagaimana penyelesaian segala urusan yang tiruanla berdasarkan peraturan yang usang tiruana dilakukan pada wilayah induk sesuai dengan kewenangan kemudian dalam peraturan yang gres urusan tersebut menjadi wewenang kawasan yang gres hasil pemekaran.
Daerah yang gres dimekarkan tentunya perlu waktu untuk melakukan secara efektif wewenang yang didiberikan oleh Peraturan yang gres antara lain terkait dengan penyiapan dana dan penyiapan infrastruktur yang dibutuhkan serta penyiapan sumber daya insan sebagai pendukungnya.
Antara penetapan pemdiberian suatu kewenangan dengan kapan sanggup dimulainya melakukan kewenangan yang didiberikan oleh suatu peraturan itulah yang ialah ”masa peralihan” yang norma hukumnya perlu diatur dalam Ketentuan Peralihan, biar terdapat kepastian hukum.
Ketentuan Peralihan yang memuat norma untuk menegaskan kapan kewenangan yang didiberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang gres harus mulai dilaksanakan sangat penting alasannya yaitu terkait pula dengan ketentuan bahwa intinya Peraturan Perundang-undangan berlaku kedepan (tidak boleh berlaku surut). 
Larangan berlaku surut terutama untuk ketentuan pidana dan ketentuan yang memdiberi beban konkrit kepada masyarakat.

B.     Penjelasan Aturan Peralihan Uud 1945
Aturan Peralihan
Sebelum diubah, ketentuan Aturan Peralihan terdiri dari empat pasal, yaitu Pasal I, Pasal II, Pasal III, dan Pasal IV. Sesudah perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi tiga pasal, yaitu Pasal I, Pasal II, dan Pasal III.
Uraian perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tercakup dalam materi pokok wacana Aturan Peralihan sebagai diberikut.
Rumusan perubahan:

a.      Aturan Peralihan
Pasal I
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang gres berdasarkan UUD ini.

Pasal II
Semua forum negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melakukan ketentuan UUD dan belum diadakan yang gres berdasarkan UUD ini.


Pasal III
Mahkamah Konstitusi dibuat selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibuat segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Rumusan naskah asli:

b.      Aturan Peralihan
Pasal I
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia.

Pasal II
Segala tubuh negara dan peraturan yang ada masih eksklusif berlaku, selama belum diadakan yang gres berdasarkan UUD ini.

Pasal III
Untuk pertama kali Presiden dan Wapres dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Pasal IV
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibuat berdasarkan UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan menolongan sebuah komite nasional.

Adanya ketentuan yang mengatur aneka macam hal yang berkaitan dengan terjadinya perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah hal yang berlaku umum dalam setiap perubahan hukum.

Peraturan perundang-undangan tetap berlaku selama belum diterbitkan yang gres berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diubah dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan aturan atau ketidakpastian aturan sebagai akhir terjadinya perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, adanya ketentuan yang mengatur bahwa forum negara tetap berfungsi sepanjang melakukan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga dimaksudkan biar negara melalui aneka macam forum negara yang dibentuknya (seperti MPR, DPR, Presiden, dan MA) tetap berjalan sebagaimana mestinya untuk menyelenggarakan acara negara dan pemerintahan, memenuhi kepentingan umum dan kebutuhan rakyat hingga adanya forum gres yang dibuat berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diubah.
Ketentuan bahwa MA melakukan fungsi MK sebelum MK terbentuk penting untuk mencegah terjadinya kevakuman aturan dalam pelaksanaan kiprah ketatguagaraan. Selain itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk memastikan berjalannya prosedur saling mengawasi dan saling mengimbangi. Sementara itu, forum negara yang ada, yaitu Presiden, DPR, MPR, MA, BPK, dan DPA sudah beradaptasi dengan ketentuan gres dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diubah.

C.    Fungsi Aturan Peralihan
Ketentuan Peralihan dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan banyak mempunyai pengertian yang tidak sama dari setiap pembaca Peraturan Perundang-Undang terutama masyarakat awam.
Dalam Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat keberadaan materi wacana ketentuan peralihan yang dijadikan sebagai Lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 wacana Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ketentuan peralihan itu sendiri ialah salah satu ketentuan dalam perundang-undangan yang rumusannya sanggup didefinisikanketika diperlukan atau jika diperlukan. Definisi tersebut sanggup diartikan bahwa tidak tiruana peraturan perundang-undangan mempunyai Ketentuan Peralihan atau Transitional Provision.
Ketentuan Peralihan dibutuhkan untuk mencegah kondisi kekosongan aturan akhir perubahan ketentuan dalam perundang-undangan. Terkait perubahan, maka perubahan daripada suatu ketentuan antara lain terkait dengan kondisi diberikut, ibarat santunan wilayah, ekspansi wilayah, peralihan kewenangan dari satu forum ke forum lain atau peralihan dari yurisdiksi pengadilan. \
Ketentuan Peralihan juga sering dirumuskan (formulated confused) dengan Ketentuan Penutup. Dan untuk frasa Jika diperlukan dapat diartikan bahwa tidak selalu materi Ketentuan Peralihan tersebut terdapat atau perlu diatur atau pun perlu dirumuskan dalam setiap Peraturan Perundang-Undangan.
Ketentuan Peralihan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan ialah suatu ketentuan aturan yang mempunyai fungsi untuk menjaga tidakboleh hingga terdapat pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. melaluiataubersamaini maksud biar segala relasi aturan atau tindakan aturan yang sudah dilakukan atau sedang dilakukan dan belum selesai prosesnya berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang diubah (ketentuan perundang-undangan lama) tidakboleh hingga dirugikan akhir berlakunya peraturan yang baru, akan tetapi harus diatur seadil mungkin sehingga tidak melanggar hak-hak asasi insan sebagaimana yang diamanatkan dalam  Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Dalam hal terjadi perubahan suatu ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan maka pembentuk Peraturan Perundang-undangan harus berhati-hati dalam merumuskan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dalam artian tidakboleh hingga mengesampingkan apalagi melupakan relasi aturan ataupun tindakan aturan yang pernah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, oleh karenanya perlu diatur kesinambungan atau penyelesaiannya dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru. Dan kesalahan yang sering terjadi yakni baik dalam merumuskan maupun menempatkan rumusan status peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-Undang yang sudah ada pada ketika Undang-Undang dicabut dan ditetapkan tidak berlaku, alasannya yaitu Pembentuk Undang-Undang ada yang menempatkan ketentuan tersebut dalam Ketentuan Peralihan ada juga yang menempatkan dalam Ketentuan Penutup.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan Dan Saran
Perlu dilakukan perumusan ulang secara rinci dan terperinci untuk petunjuk wacana norma dalam Ketentuan Peralihan dan norma dalam Ketentuan Penutup dengan rujukan yang terperinci sehingga sanggup dihindari kerancuan ibarat yang terjadi dalam praktek selama ini. 
Pada umumnya kerancuan terjadi sebagai akhir rancunya rumusan dalam petunjuk Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan antara lain petunjuk yang terdapat pada Nomor 100 dan petunjuk Nomor 111 abjad c Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 wacana Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

B.     Saran
Dalam Pembahasan materi di atas terkena fungsi aturan peralihan masih banyak belum sempurnanya, baik di segi penulisan ataupun di dari penyusunan kalimat dan kata-katamya,oleh sebap itu penulis minta maaf sebesar-besarnya kepada dosen dan mahasiswa tiruana, terimakasih 

Selengkapnya Klik : DOWNLOAD

LihatTutupKomentar